SUARA PEMBACA

Mas Menteri, Klaster Sekolah Bermunculan, Apa Solusinya?

Sejak 15 Juni, Mas Menteri Nadiem telah mengizinkan sekolah dibuka di zona hijau. Dua bulan kemudian, mantan CEO Gojek ini bergerak lebih jauh dengan mengizinkan sekolah juga dibuka di zona kuning. Keputusan terakhir pun ada di pemerintah daerah. Jika diizinkan, maka kepala sekolah harus memenuhi sejumlah kriteria.

Ngerinya, Mas Menteri juga mengatakan SMK dan kampus boleh dibuka meski berada di zona merah. Syaratnya, itu hanya untuk praktikum saja. Tentunya juga dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat. (tirto.id, 14/8/2020). Namun, tepatkah kebijakan ini di tengah persiapan yang terlihat tidak matang?

Membuka sekolah saat pandemik belum mereda, jelas sangat beresiko. Terbukti kluster baru pun bermunculan. Tidak sedikit siswa, guru hingga pegawai sekolah yang terkonfirmasi positif Covid-19.

SMPN 7 Cirebon yang dibuka sejak 3 Agustus, menjadi salah satu klaster baru Covid-19. Seorang siswa dinyatakan positif. Akhirnya, KBM tatap muka di Cirebon kembali ditutup dua hari setelah kasus tersebut muncul. Sedangkan di Sumedang, Jawa Barat, dua pelajar dinyatakan positif. Keduanya tertular dari pedagang Pasar Situraja saat perjalanan ke/dari sekolah.

Di Jawa Tengah yang menjadi peringkat ketiga nasional penyebaran Covid-19 juga mencatat klaster baru akibat sekolah dibuka. Sebanyak 11 guru di SMKN 1 Gunem, Kabupaten Rembang terpapar Covid-19. Sedangkan di Kajen, Kecamatan Margoyoso, Pati, 26 santri ponpes dinyatakan positif Covid-19 pada 9 Agustus 2020 setelah dilakukan tes swab.

Klaster sekolah juga menyerang sampai Kalimantan. Hingga Senin (10/8/2020), terdapat 14 siswa dan 8 guru di Provinsi Kalimantan Barat terkonfirmasi positif Covid-19. Sementara di Balikpapan, 26 orang guru dan pegawai di satu SD dan SMP terjangkit Corona.

Wilayah Timur Indonesia pun tidak kalah ngeri. Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Covid-19 Papua menyatakan 289 anak usia sekolah dari berbagai tingkat pendidikan positif terpapar virus Corona. (tirto.id, 14/8/2020).

Mas Menteri, munculnya banyak klaster baru di sekolah membuat penulis prihatin dan ngeri. Ini juga menjadi imbas ketidaksiapan dan ketidakjelasan kebijakan pemerintah. Sebab kendala pembelajaran jarak jauh (PJJ) direspon dengan kebijakan sporadis dan tidak terarah, hanya demi memenuhi desakan publik. Mirisnya, kebijakan tersebut tidak diiringi dengan persiapan yang memadai untuk meminimalisir bahaya dan resiko.

Memang benar banyak kendala yang bermunculan selama PJJ. Namun, kendala itu tidak dapat menjadi alasan membuka kembali sekolah-sekolah, sedangkan nyawa anak dan guru menjadi taruhan. Sementara ketidakjelasan anggaran dan aturan saja masih menjadi masalah yang belum terselesaikan oleh pemerintah.

Padahal sekolah jelas membutuhkan dana yang tidak sedikit guna menunjang protokol kesehatan. Masa normal saja masih banyak sekolah yang kesulitan memenuhi sarana dan prasarana sekolah. Apatah lagi jika ditambah untuk membeli peralatan kesehatan untuk menerapkan protokol kesehatan. Jadi wajar, tidak hanya bingung dan gagap melaksanakan KBM tatap muka. Klaster baru pun bermunculan sebab minimnya sapras.

Mas Menteri, alih-alih memaksakan sekolah dibuka, lebih baik untuk membenahi masalah PJJ dan mengevaluasi sistem pendidikan kita selama pandemik. Jangan sampai siswa dan guru lagi-lagi menjadi korban. Siswa kesulitan belajar sebab tidak ada hp dan kuota. Sedangkan guru terus dibully sebab dituduh makan gaji buta.

Kebingungan KBM selama pandemik tentu tidak akan terjadi. Jika Mas Menteri mau mengambil Islam sebagai solusi. Sebab Islam mengatur dengan jelas dan pasti bahwa negara berkewajiban menjamin dan mengatur sistem pendidikan semata-mata demi kepentingan rakyat. Hal ini mulai dari kurikulum pendidikan, metode pengajaran, bahan-bahan ajar hingga infrastruktur dan operasionalnya.

Semua komponen yang menunjang keberhasilan pendidikan tersebut dijamin negara. Sebab dalam paradigma Islam, negara adalah raa’in (pengurus) bagi rakyat.

“Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Dengan demikian, negara akan bersungguh-sungguh dalam memenuhi sarana dan prasarana yang dibutuhkan guna menunjang proses dan keberhasilan mendidik generasi.

Dana penyelenggaran pendidikan diperoleh dari kas negara dan bersifat mutlak. Sumbernya dari pengelolaan kepemilikan umum, jizyah, fa’i, kharaj, dll. Karena bersifat mutlak, ada atau tidak ada dana di kas negara, negara tetap berkewajiban menjamin terselenggaranya pendidikan bagi rakyat.

Oleh karena itu, negara tidak akan abai dan gagap dalam menjamin akses pendidikan rakyat, termasuk selama pandemik. Terlepas tepat atau tidak tepat menyelenggarakan KBM daring atau tatap muka saat wabah. Selayaknya sudah menjadi kewajiban negara memberikan pelayanan terbaik dan menyediakan sarana prasarana yang optimal dalam proses pendidikan generasi.

Sehingga tidak ada sekolah yang bingung dan gagap menyelenggarakan program pendidikan karena keterbatasan dalam berbagai sarana dan prasarana. Sebab kebingungan dan kegagalan sekolah, menjadi sinyal abai dan gagalnya negara, dalam mengurusi hajat kebutuhan pokok rakyat.

Mas Menteri, kebingungan dan kegagapan sistem pendidikan hari ini. Sejatinya tidak lepas dari diembannya kapitalisme atas negeri ini. Sehingga kebutuhan pendidikan rakyat pun tidak terpenuhi, sebab sistem pendidikan diatur berasaskan materi dan berorientasi profit.

Maka, belum terlambat jika Mas Menteri mau mengambil Islam sebagai solusi yang solutif. Dengan Islam, kebutuhan pendidikan rakyat pasti dijamin dan dipenuhi. Mas Menteri pun tidak lagi dibikin bingung dan frustasi. Betul apa betul?

Jannatu Naflah
Praktisi Pendidikan

Artikel Terkait

Back to top button