Masalah Kekerasan pada Perempuan Butuh Solusi Sistemik
Dalam rangka memperingati Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan berbagai organisasi dan lembaga mengadakan kampanye 16 Hari Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP).
Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence) merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia.
Kampanye semacam ini rutin digelar tiap tahunnya, namun kasus kekerasan pada perempuan seolah tak kunjung berakhir.
Memang benar selain kampanye HAKTP ada pula upaya lain dari berbagai pihak untuk mengentaskan masalah kekerasan pada perempuan. Misalnya ada Rumah Aman Perempuan di berbagai wilayah, Puspaga (Pusat Pelayanan Keluarga) dan Simal Indonesia (Sekolah Ibu dan Istri Milenial).
KEMENPPPA juga memiliki P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) sebagai upaya membantu berbagai masalah perempuan dan anak termasuk di dalamnya juga kasus kekerasan. Di DIY bahkan diluncurkan aplikasi Lapor Kekerasan yang bisa diakses di Jogja Smart Service (JSS). Masih banyak lagi upaya serupa untuk mengatasi masalah kekerasan pada perempuan.
Dengan berbagai macam upaya tersebut apakah masalah kekerasan pada perempuan berkurang atau bahkan hilang? Nyatanya tidak.
Data kekerasan pada perempuan yang dihimpun oleh KEMENPPPA dari tahun 2018 hingga 2023 justru menunjukkan peningkatan. Tahun 2018 tercatat ada 18.141 kasus, sedangkan di tahun 2022 tercatat 25.050 kasus. Sementara di tahun 2023 meningkat menjadi 26.161 kasus. Data tahun 2023 ini jika digabungkan dengan data yang diterima oleh SintasPuan Komnas Perempuan dan Titian Perempuan FPL menyentuh hingga angka 34.682 kasus. Sungguh mencengangkan jumlah peningkatan kasusnya.
Bahkan untuk DIY, pada tanggal 12 Agustus 2024 lalu dalam siaran Pers-nya Komnas Perempuan menyebutkan bahwa data Simfoni Kemen PPPA mencatat di tahun 2023 kasus kekerasan terhadap perempuan disabilitas tertinggi berada di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan 33 korban, sementara data FPL mencatat 120 korban dan Komnas Perempuan mencatat 38 kasus.
Data-data tersebut cukup menunjukkan bahwa berbagai bentuk kampanye HAKTP hingga program berbagai lembaga tersebut tidak cukup untuk mengatasi masalah kekerasan pada perempuan. Hal ini tidak lain karena keberadaan lembaga hingga program tadi berfokus pada penanganan akibat, bukan menghilangkan sebab. Ibarat orang yang hanya terus berupaya mengepel lantai basah karena genteng bocor saat hujan tanpa berupaya menutup sumber kebocorannya. Akibatnya, masalah tidak akan pernah selesai. Bahkan berpotensi menimbulkan semakin banyak masalah yang tentu menguras banyak energi.
Oleh karena itu, akar masalah dari kekerasan pada perempuan harus diselesaikan secara tuntas.
Faktor utama yang menyebabkan kasus ini tidak kunjung selesai adalah karena lemahnya ketakwaan pada individu sehingga tidak takut melakukan kejahatan, masyarakat yang cenderung abai terhadap sekitarnya, dan lemahnya aturan negara dalam mengontrol hal-hal yang dapat memicu kedua masalah tersebut.
Ketiga hal tadi tidak lain disebabkan oleh sistem sekuler liberal yang mau tidak mau harus diakui telah menjadi bagian dari sistem yang diterapkan saat ini. Agama terus menerus berupaya dijauhkan dari masyarakat dengan berbagai macam upaya seperti program deradikalisasi, moderasi beragama, hingga upaya monsterisasi terhadap ajaran Islam seperti jihad dan khilafah. Akibatnya, ketaqwaan individu semakin lemah yang mengakibatkan seseorang tidak memiliki kebutuhan terikat pada syariat.