Masalah Kekerasan pada Perempuan Butuh Solusi Sistemik
Di sisi lain, kebebasan semakin diagungkan sehingga perilaku yang melanggar norma dan agama makin berani dilakukan. Bahkan akhirnya justru masyarakat menjadi semakin segan menegur dan cenderung abai karena tidak ingin mencampuri urusan orang lain. Prinsip indivialisme yang mementingkan urusan diri sendiri juga semakin melekat di tubuh masyarakat.
Negara yang memisahkan aturan agama dari kehidupan juga akhirnya mengabaikan aturan kehidupan dari Sang Khaliq yang berakibat timbulnya kerusakan di berbagai bidang kehidupan. Gagalnya negara mensejahterakan rakyat sehingga menyebabkan ekonomi sebagai trigger kekerasan adalah sebuah fakta yang tak terelakkan.
Kementerian PPPA menyatakan bahwa banyak kasus KDRT terjadi karena faktor ekonomi. Lebih jauh lagi, menurut artikel yang dilansir oleh tirto.id terkait penyebab KDRT, disebutkan bahwa Kementrian PPPA merilis data bahwa aspek ekonomi merupakan aspek yang lebih dominan menjadi faktor KDRT dibandingkan dengan aspek pendidikan.
Hal ini dibuktikan kebanyakan KDRT dialami oleh wanita yang berasal dari rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan rendah. Wanita yang berasal dari rumah tangga kelompok 25 persen termiskin memiliki risiko 1,4 kali lebih besar mengalami KDRT dibanding kelompok 25 persen terkaya. Selain itu, perempuan dengan suami menganggur berisiko 1,36 kali lebih besar mengalami KDRT dibanding perempuan yang pasangannya bekerja. Ini dikaitkan dengan tingkat kesejahteraan rumah tangga yang tergolong rendah, sehingga memicu pertengkaran dalam rumah tangga serta KDRT.
Selain itu sistem peradilan dan sanksi di Indonesia saat ini cenderung sangat lemah. Akibatnya sanksi yang dijatuhkan justru tidak menimbulkan rasa takut dan jera.
Berdasarkan hal-hal diatas, jelas bahwa problem kekerasan pada perempuan adalah masalah sistemik. Masalah sistemik tidak akan selesai dengan solusi yang bersifat parsial. Masalah sistemik membutuhkan solusi sistemik. Artinya, tidak cukup hanya dengan menangani akibat. Dibutuhkan sistem yang benar/shahih agar masalah kekerasan terhadap perempuan hilang mulai cabang hingga akarnya.
Untuk menghentikan kasus kekerasan pada perempuan tidak cukup hanya dengan membangun kesadaran, menampung dan mengedukasi korban maupun pelakunya. Butuh upaya menegakkan tiga pilar utama penerapan syariat Islam yang akan menyelesaikan masalah dari akarnya. Ketiga pilar tersebut yaitu ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan aturan negara adalah kunci dari masalah kekerasan pada perempuan dan KTD.
Di dalam sistem Islam, ketakwaan individu dikondisikan dapat tertanam sejak dini dan berupaya terus dijaga sehingga tetap melekat pada masing-masing orang sepanjang hayatnya. Penanaman dan penjagaan ini dilakukan baik oleh keluarga, sekolah, masyarakat, hingga media yang diarahkan oleh negara.
Hal ini akan membuat warga negara mengetahui apa hak dan kewajibannya dalam berinteraksi dengan orang lain. Baik dengan pasangan, anak orangtua, kerabat, tetangga, teman, hingga orang asing. Ketika ketakwaan yang memimpin, seseorang tidak akan semena-mena melakukan kekerasan pada siapapun dalam bentuk apapun.
Pilar kedua yaitu kontrol masyarakat lahir dari ketaqwaan individu dan penerapan aturan oleh negara. Dua hal tersebut akan membentuk masyarakat yang tidak abai terhadap kemaksiatan maupun kejahatan apapun yang terjadi di sekitarnya termasuk kasus kekerasan. Hal ini dikarenakan ada perintah dari Allah untuk melakukan amar makruf nahi munkar.
Perintah amar ma’ruf nahi munkar ini akan membuat masyarakat gelisah ketika ada perbuatan maksiat ataupun mendekati maksiat di sekitarnya. Kegelisahan yang tumbuh karena iman dan takwa ini juga akan mendorong masyarakat bertindak demi menghentikan aktivitas pemicu kemaksiatan tersebut. Suasana saling menolong dan mengajak terhadap kebaikan juga akan hidup di tengah masyarakat sebagai wujud keinginan memenuhi seruan Allah untuk beramar makruf.
Pilar kedua ini akan menyurutkan niat seseorang yang lemah ketaqwaan individunya hingga bermaksud melakukan kemaksiatan berupa melakukan kekerasan. Hal ini dikarenakan rasa segan, malu, dan takut “digeropyok” oleh masyarakat pasti akan terbentuk di tengah-tengah masyarakat yang tingkat kepeduliannya tinggi.