SIRAH NABAWIYAH

Masjid, Bangunan Pertama Daulah di Madinah

Masjid adalah bangunan pertama saat berdirinya Daulah Islam di Madinah. Bukan hanya secara fisik Masjid merupakan pusat aktivitas umat, di Masjid pula komitmen masyarakat terhadap sistem, akidah, dan tatanan Islam ditumbuhkan.

Saat memasuki kota Yastrib, yang kemudian diubah menjadi Madinah, unta Rasulullah saw berhenti pada sebidang lahan milik dua anak yatim dari kaum Anshar. Sebelum kedatangan beliau ke Madinah, tempat tersebut oleh As’ad bin Zurarah sudah dijadikan sebagai mushala, tempat ia bersama para sahabatnya melaksanakan shalat berjamaah.

Rasulullah saw kemudian memerintahkan supaya membangun masjid di atas tanah tersebut. Rasulullah saw memangil kedua anak yatim itu –keduanya berada di bawah asuhan dan tanggung jawab As’ad bin Zurarah—untuk menanyakan harga tanah. Kedua anak itu menjawab, “Tanah itu kami hibahkan saja, wahai Rasulullah.” Akan tetapi Rasulullah saw tidak bersedia menerimanya sehingga beliau membayarnya dengan harga sepuluh dinar.

Di atas tanah ini terdapat beberapa pohon Gharqad, kurma, dan beberapa kuburan orang-orang musyrik. Rasulullah kemudian memerintahkan pembongkaran kuburan dan penebangan pohon-pohonnya. Setelah tanah itu diratakan, dibangunlah masjid yang panjangnya seratus hasta dengan lebar kurang lebih sama. Masjid ini dibangun dengan menggunakan bahan batu bata.

Dalam pembangunan ini Rasulullah saw ikut serta mengusung batu bata. Kiblat masjid (pada waktu itu) menghadap ke Baitul Maqdis. Tiang dan atapnya terbuat dari batang dan pelepah kurma. Ketika Rasulullah saw ditanya tentang atapnya, beliau menjawab:“Sebuah tenda (sederhana) seperti tenda Musa, terbuat dari kayu-kayu kecil dan anyaman pelepah. Masalahnya, kita dituntut agar segera merampungkannya.” Adapun lantai masjid ini ditimbun dengan kerikil dan pasir.

Imam Bukhari dalam sanadnya meriwayatkan dari Anas bin Malik ra bahwa ketika masuk waktu shalat, Rasulullah melaksanakan shalat di tempat penambatan kambing. Setelah itu Rasulullah memerintahkan pembangunan masjid. Rasulullah saw kemudian memanggil para tokoh Bani Najjar dan berkata kepada mereka, “Wahai bani Najjar, berapa harga tanah kalian ini?” Mereka menjawab, “Demi Allah, kami tidak menghendaki harganya kecuali dari Allah SWT…”. Selanjutnya, Anas bin Malik mengatakan, “Di tanah itu terdapat beberapa kuburang kaum musyrikin, puing-puing bangunan tua, beberapa pohon kurma. Rasulullah saw kemudian memerintahkan agar kuburan tersebut dipindahkan, pohon-pohonnya ditebang, dan puing-puingnya diratakan.”

Anas bin Malik melanjutkan, “Mereka kemudian menata batang-batang kurma itu sebagai kiblat masjid.” Sambil merampungkan pembangunan masjid bersama mereka, Rasulullah saw mengucapkan doa, “Allahumma, ya Allah! Tidak ada kebaikan kecuali kebaikan akhirat, maka tolonglah kaum Anshar dan Muhajirin.”

Masjid Rasulullah saw dengan bentuknya yang asli ini, tanpa penambahan atau pemugaran, bertahan sampai akhir masa khalifah Abu Bakar. Baru pada masa khalifah Umar ra mengalami sedikit perbaikan, tetapi bangunannya seperti sedia kala. Selanjutnya, pada masa khilafah Utsman ra. Terjadi banyak penambahan dan perluasan. Dinding-dindingnya dibangun dengan batu-batu berukir dan batu-batu yang dibakar.

Menurut Syaikh Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy (Allahyarham) dalam kitab Fiqhus Sirah, hijrah Rasulullah saw ke Madinah merupakan langkah awal proses terbentuknya Darul Islam yang pertama di muka bumi saat itu, di samping juga merupakan pernyataan berdirinya negara Islam di bawah pimpinan pendirinya yang pertama, Muhammad saw.

Karena itu, pekerjaan yang pertama dilakukan Rasulullah saw ialah meletakkan asas-asas penting bagi negara ini. Asas-asas tersebut tercermin pada tiga perkara berikut: pembangunan Masjid, mempersaudarakan sesama kaum Muslimin secara umum serta antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar secara khusus, dan membuat perjanjian (dustur) yang mengatur kehidupan sesama kaum Muslimin dan menjelaskan hubungan mereka dengan orang-orang di luar Islam secara umum dan dengan kaum Yahudi secara khusus.

Tidaklah heran jika masjid merupakan asas utama dan terpenting bagi pembentukan masyarakat Islam, karena masyarakat Muslim tidak akan terbentuk secara kokoh dan rapi kecuali dengan adanya komitmen terhadap sistem, akidah, dan tatanan Islam. Hal ini tidak akan dapat ditumbuhkan kecuali melalui semangat masjid.

Di antara sistem dan prinsip ialah tersebarnya ikatan ukhuwah dan mahabbah sesama kaum Muslimin. Akan tetapi, tersebarnya ikatan ini tidak akan terjadi kecuali di dalam masjid. Selama kaum Muslimin tidak bertemu setiap hari berkali-kali, di rumah-rumah Allah SWT, sampai terhapusnya perbedaan-perbedaan pangkat, kedudukan, kekayaan, serta status dan atribut sosial lainnya, selama itu pula tidak akan terbentuk persatuan dan persaudaraan sesama mereka.

Di antara sistem dan peradaban Islam yang lain ialah tersebarnya semangat persamaan dan keadilan sesama kaum Muslimin dalam segala aspek kehidupan. Akan tetapi, semangat persamaan dan keadilan ini tidak mungkin dapat terwujudkan selama kaum Muslimin tidak bertemu setiap hari dalam satu shaf di hadapan Allah seraya bersama-sama berdiri dengan satu tujuan yaitu semata-mata menghambakan diri kepada-Nya.

Tanpa adanya kesamaan dalam ‘ubudiyah ini, betapapun mereka rajin ruku’ dan sujud kepada Allah SWT, nilai keadilan dan persamaan tidak akan mampu menundukkan egoisme dan keangkuhan yang ada pada masing-masing diri. Wallahu a’lam.

(shodiq ramadhan)

Artikel Terkait

Back to top button