MASAJID

Masjid Kampus Islam: Antara Prioritas dan Efisiensi Anggaran

Kontras dengan dua kasus di atas, Surabaya memberi cerita berbeda. UIN Sunan Ampel mengelola Masjid Raya Ulul Albab, yang pada 2022 diganjar Juara 2 Masjid Kampus Terbaik oleh Dewan Masjid Indonesia.

Meski sempat menuai kritik mahasiswa soal kapasitas dan prioritas anggaran, penghargaan ini menunjukkan bahwa jika ada perhatian serius, masjid kampus bisa dikelola dengan baik.

Sementara di Bandung, UIN Sunan Gunung Djati justru mendapat sokongan dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat senilai Rp2,5 miliar pada 2020 untuk mempercepat pembangunan Masjid Kampus II. Dukungan eksternal ini menjadi penanda: dengan kolaborasi, pembangunan masjid tidak perlu jalan di tempat.

Kontras dengan Kampus Umum

Jika kampus Islam masih sibuk berdebat soal efisiensi, kampus umum justru melangkah lebih jauh. Masjid Salman di ITB, misalnya, bukan hanya ruang ibadah lima waktu. Sejak awal berdirinya, Salman tumbuh menjadi pusat dakwah intelektual, inovasi sosial, hingga filantropi. Di sana, masjid kampus benar-benar menjadi idea factory, tempat lahirnya gagasan yang memadukan tradisi keilmuan dengan nilai-nilai spiritual.

Universitas Jember, kampus negeri yang sama sekali tidak berlabel “Islam”, bahkan menegaskan dalam Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) bahwa penyediaan tempat ibadah merupakan standar wajib. Artinya, di kampus sekuler sekalipun, mushala atau masjid dipandang sebagai kebutuhan pokok, bukan pelengkap.

Regulasi yang Terlupakan

Regulasi sebenarnya sudah jelas. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 70 Tahun 2014 tentang Standar Sarana dan Prasarana Pendidikan Tinggi—kini terintegrasi dalam SN Dikti—mewajibkan setiap perguruan tinggi menyediakan sarana ibadah yang memadai dan proporsional.

Kementerian Agama, melalui PMA No. 5 Tahun 2020, menegaskan kembali kewajiban itu khusus untuk PTKIN. Jadi, pembangunan masjid bukan pilihan yang boleh direvisi atau ditunda. Ia adalah kewajiban.

Masjid sebagai Pusat Peradaban

Lantas mengapa masjid bisa diperlambat dengan alasan efisiensi? Pertanyaan ini menukik pada soal akuntabilitas moral.

Masjid, sejak zaman Rasulullah, bukan sekadar tempat rukuk dan sujud. Ia adalah pusat peradaban, ruang musyawarah, sekolah akhlak, dan basis pembinaan umat. Jika kini masjid kampus dianggap hanya pelengkap estetika yang bisa dikorbankan demi gedung akademik, maka yang sedang dibangun sejatinya bukanlah “kampus Islami”, melainkan sekadar pusat perbelanjaan akademik.

Ironisnya, mahasiswa tetap membutuhkan ruang itu. Masjid kampus adalah tempat tumbuhnya komunitas, wadah kegiatan intelektual, dan arena pembentukan karakter.

Zakiah Darajat, psikolog pendidikan Islam, jauh-jauh hari sudah mengingatkan bahwa masjid punya peran penting membentuk mahasiswa berintegritas. Namun ketika pembangunan masjid tersendat, integritas itu pun terancam. Mahasiswa bisa jadi lebih nyaman berkumpul di kafe ketimbang di sajadah, bukan karena mereka tak mau beribadah, tapi karena ruang ibadah tak kunjung tersedia dengan layak.

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

BACA JUGA
Close
Back to top button