SUARA PEMBACA

Mati Langkah Kasus Korupsi

Beberapa waktu sebelumnya, gelombang demonstrasi mahasiwa dan masyarakat sipil menuntut Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dicabut. Tokoh masyarakat, civitas akademika hingga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga mendesak Presiden Jokowi mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk membatalkan UU KPK. (BBCIndonesia, 16/10/2019)

Hal ini dilakukan sebagai bentuk penyampaian aspirasi rakyat. Betapa tidak, operasi tangkap tangan (OTT) KPK membuat jeri sejumlah pelaku korupsi. Tidak sedikit yang masuk perangkap. Pembersihan massal, mengenai pejabat publik. Orang-orang yang semestinya dipercaya mengelola negeri, malah berkhianat tanpa belas kasihan kepada rakyat. Uang negara, masuk ke kantong pribadi.

Bupati Indramayu Jawa Barat, Supendi, terkena OTT-KPK pada Selasa dini hari, 15 Oktober 2019. Ia diduga terlibat transaksi terkait proyek Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kabupaten Indramayu, ratusan juta rupiah. (Tempo.co, 15/10/2019). Sebelumnya Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra, telah lebih dulu dicokok KPK.

Menurut peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, tren OTT yang dilakukan KPK meningkat drastis pada tahun 2018. Diperkirakan pada 2019 akan lebih banyak lagi. Jika saja penguasa negeri mendengar suara umat, tentu Komisi Anti Rasuah ini didukung penuh, bahkan dilindungi kinerjanya.

Transaksi jabatan dan perizinan menjadi salah satu pintu masuk banyaknya kasus korupsi yang menimpa kepala daerah. Disebabkan tidak cukupnya pendapatan untuk menutupi besaran angka utang politik. Bak simalakama. Maju Pilkada makan biaya, jika tak maju, tak bisa jadi penguasa. Alhasil saat berkuasa pun sarat dengan kalkulasi untung rugi.

Sekretaris Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik Piliang mengatakan, dugaan tersebut menguatkan data yang dimiliki pihak Kemendagri. Selama hampir 14 tahun terakhir, kata Akmal, jual beli jabatan dan jual beli perizinan menjadi kasus terbanyak yang membelit kepala daerah. (Liputan6.com, 27/10/2018).

Rentetan terciduknya para Kepala Daerah erat kaitannya dengan biaya running kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang fantastis. Inilah yang kerap disinyalir penyebab praktik korupsi. Maka imbasnya adalah rawan terjadinya penerimaan suap ataupun gratifikasi ketika memegang jabatan.

Dalam Islam, korupsi dikenal dengan beberapa bentuk yakni risywah atau suap, saraqah atau pencurian, al gasysy atau penipuan, ghashab (mengambil secara zalim) atau khianat. Keseluruhannya adalah dosa, sehingga mendapat laknat Allah. Ulama fikih pun memahami bahwa perbuatan korupsi adalah haram dan juga terlarang.

Terdapat juga ungkapan “ghulul” dan “akhdul amwal bil bathil”, sebagaimana disebutkan oleh Alquran dalam surat Al-Baqarah ayat 188:

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”

Banyak ulama tafsir yang memberikan penjelasan tentang ayat ini, misalnya Imam al-Maraghi dalam tafsirnya, menjelaskan bahwa kata ghulul dapat bermakna al-akhdz al-khafiyyah. Maksudnya adalah mengambil barang milik orang lain dengan cara diam-diam atau sembunyi-sembunyi, atau dapat juga diumpamakan dengan mencuri sesuatu.

Awalnya, makna ini digunakan dalam istilah mencuri harta rampasan perang sebelum didistribusikan. Terjadi pada Perang Badar, saat qathifah (permadani) merah yang hilang, sehingga menimbulkan kecurigaan sebagian pasukan Badar terhadap Rasulullah Saw.

Terhadap persoalan seperti ini Nabi menyatakan ma ista’malnahu ‘ala ‘amalin farazaqnahu rizqan fama akhadza ba’dza dzalika fahuwa ghulul yaitu siapa saja yang aku angkat dalam satu jabatan kemudian aku berikan gaji, maka sesuatu yang diterima di luar gajinya adalah korupsi. Baik itu hadiah, yaitu pemberian yang diperoleh seseorang karena jabatan yang melekat pada dirinya atau komisi, yaitu mengambil penghasilan di luar gaji.

Sayangnya hukuman pada para koruptor belum menghasilkan efek jera. Terbukti kasus korupsi masih terus terjadi di sana sini. Vonis pengadilan yang rendah, asset recovery yang sangat sedikit, dan tidak adanya pencabutan hak politik terdakwa memberi peluang kasus yang sama akan terulang lagi. Apalagi dengan adanya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), yang masih menjadi kontroversi.

Korupsi membuat pembiayaan negara terkuras hingga menyengsarakan umat. Oleh sebab itu kita perlu kembali pada standart Islam. Menjadikan Islam sebagai asas dan kepemimpinan berpikir. Mengikuti panduan Rasulullah saat mengatasi kasus korupsi, serta menanamkan keimanan yang tinggi pada seluruh umat, baik itu level penguasa hingga rakyatnya. Agar seluruh aktivitas dipersembahkan untuk keridaan Allah semata, bukan keuntungan materi. Wallahu a’lam.

Lulu Nugroho
Muslimah Penulis dari Cirebon

Artikel Terkait

Back to top button