PARENTING

Medsos, Pedang Bermata Dua

Pedang bermata dua, mungkin itulah gelar yang layak disandang oleh media sosial saat ini.

Dewasa ini, media sosial bukanlah hal yang aneh di kalangan masyarakat. Pada kenyataannya, dari mulai anak kecil hingga dewasa, sebagian besar dari mereka pasti memiliki akun media sosial. Entah itu Facebook, Instagram, Twitter, Line atau media-media sosial lainnya yang memang berkembang pesat di tengah-tengah masyarakat saat ini.

Media sosial telah mengubah cara seseorang berinteraksi, berpikir, membentuk pertemanan dan mengakses informasi. Dengan media sosial, masyarakat dapat dengan mudah mengakses segala informasi dan bahkan berteman dengan seseorang yang tidak dikenal bahkan belum pernah dijumpai sebelumnya. Setiap orang dapat dengan bebas berinteraksi tanpa mengenal jarak dan waktu. Dan pada akhirnya, interaksi yang tidak terkontrol pun, tidak dapat dihindari.

Berawal dari memajang photo diri dengan pose yang dapat memikat lawan jenis ketika melihatnya. Dan tentu saja hal ini dapat diakses oleh siapapun. Berlanjut dengan saling memberikan like sebagai tanda ketertarikan, tak lama kemudian saling melempar canda di komentar, hingga pada akhirnya berlanjut melalui inbox. Bisa jadi proses kehancuran rumah tangga dimulai dari sini. Ironisnya, tidak jarang pengguna medsos yang menggunakan identitas palsu di akun media sosialnya hanya demi menarik perhatian lawan jenis.

Dari beragamnya tujuan penggunaan media sosial, apa yang akan diraih oleh penggunanya, tentu saja akan sesuai dengan apa yang menjadi tujuannya. Jika kita bijak menggunakannya, tentu kebaikanlah yang akan diperoleh. Namun bagaimana jika penggunaan media sosial tidak diiringi oleh rasa tanggung jawab, kebijakan sikap serta pola pikir yang baik? Tentu masalah lah yang akan timbul.

Fenomena itulah yang terjadi saat ini. Dari berbagai survey yang dilakukan belakangan ini, penggunaan media sosial secara tidak bijak, disinyalir menjadi penyebab terbesar perceraian di dalam rumah tangga.

Menurut Abdul Hakim, seorang Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Karawang mengatakan bahwasanya pemicu perceraian tidak hanya karena faktor ekonomi. Namun, media sosial menjadi tren baru pemicu perceraian. Hal ini karena adanya perselingkuhan yang dilakukan melalui media sosial. Pada periode Januari – Juli 2018 saja, Pengadilan Agama Karawang mencatat ada sebanyak 1.201 permohonan gugat cerai. Sedangkan pengajuan cerai talak dari suami hanya sebanyak 434. Dan kebanyakan karena perselingkuhan.

Menurut sebuah penelitian, seseorang yang kerap menggunakan media sosial, sekitar 32 persen diantaranya lebih cenderung berpikir untuk meninggalkan pasangannya. Para peneliti dari Boston University menemukan korelasi antara penggunaan media sosial, masalah perkawinan, dan perceraian.

Para peneliti juga memeriksa data yang dikumpulkan pada tahun 2011 oleh University of Texas di Austin, yang meminta 1.160 orang menikah di usia 18-39 tahun bercerita tentang keharmonisan rumah tangga mereka. Orang yang tidak menggunakan media sosial, 11,4 persen di antaranya lebih merasa bahagia dengan pernikahannya dibandingkan dengan orang yang menggunakan media sosial. Sementara para pengguna media sosial, 32 persen di antaranya cendurung tidak betah di rumah dan berpikir untuk meninggalkan pasangannya (www.liputan6.com). Ketika hal ini terjadi, lantas siapa yang patut dipersalahkan?

Pada dasarnya kita tidak bisa menyalahkan media sosial semata sebagai satu-satunya penyebab perselingkuhan yang berujung perceraian. Karena faktanya banyak yang menggunakan media sosial dengan bijak, yang pada akhirnya mendatangkan kebaikan kepadanya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa tujuan dari penggunaan media sosial, menjadi salah satu faktor penyebabnya.

Dalam menggunakan media sosial tidak cukup hanya dengan ilmu saja, tetapi harus dibekali juga dengan iman dan takwa. Orang yang beriman dan bertakwa akan memanfaatkan kemajuan teknologi melalui media sosial dengan bijak.

Adanya asas kebebasan yang diusung oleh sistem demokrasi, berpengaruh pada pola sikap manusia. Kebebasan ini menjadikan manusia bersikap sesuai kehendak hatinya tanpa batasan dan tanpa memikirkan baik buruk, ataupun akibat yang mungkin ditimbulkannya. Adanya paham kesetaraan gender, menjadikan para istri tidak segan-segan untuk menggugat cerai suaminya tanpa alasan yang dibenarkan oleh syara’. Lebih parahnya lagi, alasan yang dikemukakan hanya karena adanya PIL.

Sedangkan di dalam Islam, seseorang yang memiliki ilmu agama dan mengamalkan ilmunya, tentunya mengetahui bahwasanya ada malaikat pencatat amal yang senantiasa menuliskan segala tindakan yang dia perbuat. Syariat Islam juga telah mengatur sedemikian rupa tata cara berinteraksi (bermuamalah) dengan lawan jenis yang bukan mahram. Tidak diperbolehkannya berikhtilat apalagi berkhalwat tanpa adanya hajat syar’i, hukum syara’ ini merupakan salah satu faktor yang dapat membentengi kaum muslim dari hal-hal yang dilarang oleh Allah.

Tidak kalah penting adalah peran serta penguasa yang seharusnya menetapkan peraturan yang dapat mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan di dalam bermuamalah secara syar’i. Jika diterapkan peraturan tersebut, tentu fenomena ini akan bisa diatasi atau bahkan tidak mungkin terjadi. Dan satu-satunya cara agar semua itu dapat terwujud, tidak lain hanya dengan menerapkan Islam secara kaffah di seluruh aspek kehidupan. Wallahu a’lam

Winda Oktavianti
Tinggal di Lembang

Artikel Terkait

Back to top button