Melanggengkan Narasi Jahat Radikalisme dan Terorisme, Demi Apa?
Belum usai kegaduhan penceramah radikal. Perhatian publik kembali dialihkan dengan aksi ‘jagoan’ Densus 88. Sebagaimana diberitakan suara.com, 11/3/2022, Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri menembak mati seorang terduga teroris bernama dr. Sunardi di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Densus 88 mengklaim bahwa dr. Sunardi melakukan perlawanan saat hendak di tangkap sehingga ditembak mati.
Aksi Densus 88 ini pun menuai respons dari warganet. Tanda pagar #PrayForDokterSunardi pun mengemuka sebagai ungkapan belasungkawa dan kritik keras terhadap tindakan represif yang menimpa dr. Sunardi. Bahkan tidak sedikit warganet yang mengomentari agar tindakan Densus 88 tersebut lebih baik dialihkan untuk menuntaskan aksi teror KKB di Papua.
Habis radikalisme terbitlah terorisme. Lagu lama yang saling bertautan. Herannya, lagu ini makin nyaring digaungkan sejak tuan penguasa menjadi penggawa di negeri ini. Fakta berbicara, gorengan radikalisme dan terorisme senantiasa menjadi narasi renyah untuk meredam berbagai problematika utama negeri ini. Mirisnya, narasi jahat ini senantiasa menyasar Islam dan umatnya.
Definisi radikal yang dilontarkan pun sarat dengan kepentingan politik ala tuan penguasa. Lihatlah, hingga hari ini tidak ada definisi baku radikal yang keluar dari lisan-lisan tuan penguasa negeri. Begitu pula dengan terorisme, aroma standar ganda kerap kental tercium. Dalam kacamata tuan penguasa, teroris dan terorisme acap kali disematkan pada umat Islam. Sementara pelaku teror dan pembunuhan brutal di Papua, mereka labeli dengan sebutan kelompok kriminal bersenjata.
Ya, inilah kondisi negeri tercinta hari ini. Narasi radikalisme dan terorisme langgeng dimainkan. Menyasar Islam dan umatnya. Mengokohkan islamofobia. Tujuannya tidak lain adalah untuk memecah perhatian umat terhadap berbagai problematika yang ditimbulkan akibat diterapkannya kapitalisme dan derivatnya.
Nyatanya, rakyat tidaklah kenyang disuguhi narasi radikal-radikul dan terorisme. Rakyat masih terus saja tercekik dengan seabrek kebijakan yang makin berpihak pada kepentingan kapital oligarki. Korupsi makin lumrah. Tuan penguasa makin hilang malu memalak rakyat dengan berbagai iuran dan pajak. Sementara kekayaan alam milik rakyat makin diobral; keran impor dibuka jor-joran; karpet merah pun dibentangkan demi menyambut para investor di ibu kota negara baru, yang ironisnya ditolak keras oleh rakyat.
Di sisi lain, politik belah bambu ala kapitalis global pun makin gencar dimainkan di tengah umat. Tidak heran jika label moderat dan radikal makin mengotak-ngotakkan umat. Moderat bagi siapa saja yang mendukung segala kebijakan tuan penguasa. Radikal bagi siapa saja yang lantang bersuara mengungkap kezaliman atas berbagai kebijakan yang ada. Inilah yang menjadi senjata ampuh untuk membungkam suara kritis guna membongkar borok tuan penguasa. Ini pula yang menjadi penghalang kebangkitan umat untuk berislam kafah.
Radikal-radikul dan terorisme boleh saja terus ditabuh, tetapi sejatinya rakyat sudah cerdas. Kesadaran politik mereka pun kian terasah, karena melihat ketidakadilan yang makin kian tampak. Akal dan hati yang fitrahnya cenderung pada kebenaran dan kebaikan, niscaya akan berontak dan gelisah melihat kondisi negeri ini yang kian terpuruk. Mata pun akan makin jelas melihat, bahwa sejatinya radikal-radikul dan terorisme hanyalah tameng untuk menutupi borok penguasa. Mirisnya, semua itu semata-mata untuk mempertahankan kursi kekuasaan.
Kesadaran politik umat yang kian menguat menjadi sinyal baik untuk bangkit. Kesadaran politik ini juga penting untuk terus diarahkan pada sebuah opini umum, bahwa kondisi negeri yang tidak baik-baik saja hari ini membutuhkan solusi yang hakiki. Sebuah solusi yang pastinya bukan berasal dari akal manusia yang lemah dan terbatas, melainkan berasal dari Sang Pencipta yang Maha Mengatur Segalanya. Solusi ini tidak lain yakni sistem Islam.
Jelas, untuk mencapai opini umum ini dibutuhkan kontribusi seluruh elemen umat tanpa terkecuali. Alhasil, di tengah kencangnya narasi radikalisme dan terorisme yang menghantam Islam dan umatnya, sejatinya menjadi pendorong bagi umat Islam untuk makin gencar beramar makruf nahi mungkar. Membongkar kerusakan-kerusakan yang timbul akibat diterapkannya kapitalisme dan derivatnya. Kemudian menawarkan Islam sebagai solusi hakiki untuk menyelamatkan negeri. Inilah PR besar umat Islam hari ini yang wajib terus kita perjuangkan. Wallahu’alam bissawab.
Jannatu Naflah, Pemerhati Masyarakat