SUARA PEMBACA

Memahami Bencana dengan Perspektif Islam

Bagi seorang Muslim, keyakinan terhadap segala sesuatu yang menimpanya di muka bumi ini merupakan kehendak (qada’) termasuk perihal bencana alam. Bencana atau musibah merupakan perkara yang tidak dapat ditebak kapan datangnya oleh manusia, karena perkara ini termasuk kedalam kuasa Allah. Akan tetapi, tindakan preventif (ikhtiar) untuk menghindari sebelum bencana alam terjadi dapat kita lakukan lakukan karena kita diberi kuasa oleh Allah untuk memilih perkara yang hendak kita lakukan di dunia ini.

Dalam kitab Nizham al-Islam, karya Syekh Taqiyuddin an Nabhani, qada’ adalah seluruh perbuatan yang tercakup di dalam lingkaran yang menguasai manusia. Manusia tidak diberi kebebasan berkehendak dalam perbuatan tersebut, dan tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan itu. Sedangkan, seluruh perbuatan yang ada di dalam lingkaran yang dikuasai manusia adalah area manusia berjalan berjalan berdasarkan pilihannya sesuai dengan peraturan yang dipilihnya, yakni syariat Allah atau selain syariat Allah.

Di area yang dikuasai manusia, ia dapat menentukan perbuatannya berdasarkan kehendaknya. Misalnya, manusia memenuhi kebutuhan nalurinya, untuk  memiliki sesuatu, atau kebutuhan akan makanannya kapanpun ia mau. Ia dapat memilih yang halal ataukah haram, sehingga kelak perbuatannya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah.

Berkaitan dengan bencana alam yang terjadi, manusia tidak dapat menghentikan bencana alam itu terjadi, melainkan manusia dapat melakukan tindakan pencegahan (preventif) yang memicu interaksi fenomena alam dengan manusia yang dapat menimbulkan bencana. Manusia bisa melakukan upaya meminimalisasi dari bahaya, bahkan risiko bencana. Upaya menyelamatkan diri dan orang lain dari bahaya termasuk dalam kategori ikhtiar (usaha) yang wajib dilakukan oleh siapapun, dalam hal ini tanggung jawab negara untuk menyelamatkan rakyatnya dengan tindakan preventif yang dilakukan.

Islam memiliki seorang figur kepemimpinan dalam sebuah institusi daulah Islam. Figur dari khalifah Umar bin Khattab Ra dikisahkan, ketika wabah penyakit terjadi di wilayah Saragh, dekat Syam, khalifah Umar memerintahkan rakyatnya untuk menghindari masuk ke area wabah tersebut. Ditanya oleh sahabat, apakah perbuatan seperti itu berarti lari dari takdir Allah? karena terkena penyakit adalah sebuah takdir yang telah Allah tetapkan. Maka khalifah Umar menjawab, bahwa ia menghindari suatu takdir untuk menuju takdir yang lain.

Dari sirah Khalifah Umar, seorang penguasa mencontohkan tindakan preventif untuk menghadapi wabah penyakit. Tindakan fatalisme (pasrah) dalam situasi bencana alam adalah sikap yang tidak dibenarkan oleh Islam. Makna lebih luas ialah, manusia wajib menyelamatkan diri.

Islam memiliki aturan kehidupan yang komprehensif dan sempurna, sehingga seluruh permasalahan yang ada seharusnya mengambil solusi yang bersumber dari hukum syara’. Negara hari ini, hendaknya mengajak rakyat untuk menerapkan syariat secara total, agar tidak mengundang murka Allah. Tugas negara bukan membuat berhenti bencana alam, akan tetapi melakukan tindakan yang tepat, sesuai dengan apa yang telah disyariatkan oleh Allah. Negara juga menjaga kesalehan masyarakat agar siapapun yang wafat di tengah bencana dapat meninggal dalam keadaan husnul khatimah. Hal ini tidak akan terwujud selama negara masih menganut sistem selain Islam (red: kapitalisme).

Musibah dan Bencana yang terjadi hari ini, barangkali menjadi teguran untuk manusia karena telah mengingkari  hukum Sang Illahi Rabbi, dengan segala kelemahan manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya. Ketika semua berada dalam genggamannya, masihkah kita mau ingkar terhadap aturanNya? Hendaknya sebagai manusia, kita pandai memetik hikmah di balik sebuah musibah. []

Ahsani Ashri, S.Tr.Gz., Muslimah, Warga Jakarta Timur.

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button