TELADAN

Memahami Kecintaan Nabi pada Kota Kelahirannya

Pada setiap momentum peringatan Tahun Baru Hijriyah tidak asing bagi kita untuk mendengar sabda Nabi Saw yang menyatakan: “Alangkah baiknya kau sebagai negeri (Mekah) dan betapa cintanya diriku padamu. Seandainya kaumku tidak mengusirku darimu, niscaya aku tidak akan tinggal di kota selainmu.” (HR At Tirmidzi dan Ibnu Hibban).

Nabi Saw mengucapkan pernyataan tersebut di saat beliau akan melakukan hijrah ke Madinah.

Mari sekarang kita mencermati sabda Nabi Saw tersebut dan hubungannya dengan fenomena hijrah. Dengan begitu akan bisa diperoleh pemahaman yang tepat sehingga implementasi semangat hijrah pada kondisi sekarang harapannya akan membawa perubahan keadaan ke arah yang lebih baik.

Dengan mencermati sabda Nabi Saw tersebut, akan terlihat beberapa hal berikut ini. Bahwa kecintaan kepada tanah kelahiran atau tanah air adalah hal yang fitri (alami) pada diri manusia. Ini merupakan perwujudan naluriah manusia. Adanya keterpautan hati dengan tanah kelahiran lantas timbul rasa untuk mempertahankannya dari berbagai bentuk gangguan dan upaya penjajahan terhadapnya adalah perwujudan naluri baqo’ (mempertahankan diri). Jadi manusia itu secara naluri akan mencintai tanah kelahirannya, tidak terkecuali seorang Nabi dan Rasul. Ini yang pertama.

Yang kedua, agar kecintaan pada tanah kelahiran itu tidak sekedar hal yang naluriah, Islam membingkainya dengan landasan akidah. Tujuannya agar kecintaan pada tanah kelahiran terwujud dengan benar. Dalam kitab “Tuhfatul Ahwadziy Syarah Jamiut Tirmidziy” dijelaskan sebagai berikut:

“(Barangsiapa yang terbunuh karena hartanya) yakni ia mempertahannya terhadap orang – orang yang akan mengambilnya dengan cara yang zalim. (Barangsiapa yang terbunuh karena darahnya) yakni ia mempertahankan dirinya. (Barangsiapa yang terbunuh karena agamanya) yakni ia menolong dan membela agamanya. (Barangsiapa yang terbunuh karena keluarganya) yakni membela keluarganya atau kerabatnya. (Maka ia telah mati syahid). Karena sesungguhnya muslim itu terpelihara agama, darah, keluarga dan hartanya. Maka apabila ada pihak lain yang ingin mengambilnya dengan paksa dari keempat hal tersebut, dianjurkan untuk mempertahankannya. Maka apabila ia terbunuh karenanya, maka ia mati syahid.”

Tentunya membela hartanya termasuk di dalamnya adalah negerinya dan kekayaan alam yang dikandungnya dari upaya pihak lain untuk merampasnya dan menjajahnya.

Pada zaman penjajahan Portugis, Belanda dan Jepang, kaum muslimin di Nusantara bangkit melawan penjajah. Di bawah komando Kesultanan, kaum muslimin mempertahankan nusantara dari tangan-tangan zalim yang ingin merampas tanah air dan kekayaannya. Atas landasan iman dan ingin meraih syahid, jihad berkobar di seluruh wilayah nusantara. Adalah Dipati Unus dari Kesultanan Demak dengan pasukannya menyerang Portugis di Malaka. Oleh karenanya, beliau disebut dengan Pangeran Sabrang Lor. Begitu pula, Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Kesultanan Mataram menyerang Belanda di Batavia. Pangeran Diponegoro mengobarkan jihad di seluruh pulau Jawa guna melawan Belanda di 1825 – 1830. Khilafah Utsmaniyah pun turut membantu Aceh melawan Belanda. Kurtoglu Hizier Reis dengan pasukannya mempertahankan Aceh. Belanda pun mengalami kekalahan telak. Ini sebagian kecil potret perlawanan terhadap para penjajah yang dilakukan Kesultanan nusantara.

Begitu pula kalau kita lihat praktik dari Nabi Saw sendiri setelah hijrah tinggal di Madinah. Maka Nabi Saw dan kaum muslimin bahu membahu untuk membela Madinah. Bukan sekadar faktor tempat tinggal, akan tetapi Madinah saat itu yang keberadaannya sebagai Daulah Islam (Negara Islam) yang menerapkan Islam dan menyebarkan dakwah. Oleh karena itu, Nabi Saw dan kaum muslimin harus berhadapan dengan orang – orang Quraisy Mekah dalam sejumlah peperangan. Mereka ingin memadamkan cahaya Islam yang mulai bersinar di Madinah. Dari perang Badar, perang Uhud, dan juga perang Ahzab, termasuk beberapa insiden bentrokan kecil lainnya. Nabi Saw dan kaum muslimin harus menghadapi sanak kerabatnya yang masih kafir dalam sejumlah peperangan tersebut. Faktor keimanan itulah yang menjadi landasan Nabi Saw dan kaum muslimin. Meraih ridha Allah SWT menjadi tujuan tertinggi.

Jadi kecintaan kepada tanah air dan negeri yang menjadi tempat tinggal kita, dilandasi dengan kecintaan yang benar. Kita akan mempertahankannya dari pihak-pihak yang ingin merampasnya dengan cara yang zalim, yakni dengan penjajahan dan cara kepemilikan yang haram. Menyerahkan kekayaan alam kepada swasta dan asing adalah bentuk kezaliman atas kepemilikan rakyat. Dengan begitu hajat hidup rakyat tergantung kepada perusahaan. Akibatnya bukan lagi pelayanan yang ada, akan tetapi mengeruk keuntungan di atas kesulitan rakyat.

Ketiga, benarlah Nabi Saw yang bersabda, “Tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang non Arab kecuali karena ketakwaannya”. Artinya bila orang non-Arab itu bertakwa tentu lebih baik dari orang Arab yang kurang ketakwaannya. Lebih lanjut Nabi Saw menegaskan bahwa bukan termasuk golongan umat Islam orang yang menyeru dan berperang atas ashabiyyah.

Sedangkan ashabiyyah berasal dari lafadz ashabah (hubungan kekerabatan yang dinisbatkan kepada bapak atau ayah). Jadi seorang bapak dinisbatkan padanya kewalian dan nasab. Secara syar’i, ashabiyyah bermakna: al mu’awwanah ala adzulmi (saling menolong dalam kezaliman).

“Al-Manawiy berkata, “Yaitu, orang yang menyeru manusia untuk berkumpul di atas ‘ashabiyyah, yaitu menolong orang yang zalim.

Imam Al-Qaariy menyatakan, “Yakni, perkumpulan ‘ashabiyyah dalam menolong orang-orang yang zalim. Di dalam hadits disebutkan “maa baala da’wa al-jaahiliyyah”, berkata pengarang Kitab An Nihayah, “Yakni seruan mereka, wahai kaum fulaan, yang mana mereka menyeru satu dengan yang lain terhadap suatu urusan yang terjadi. (Siapa saja yang berperang di atas ‘ashabiyyah): yakni berperang di atas kebatilan. Di sebagian naskah tidak ada lafaz (man maata ‘alaa ‘ashabiyyah): yakni (mati) di atas jalan menjaga kejahiliyahan”. [‘Aun al-Ma’buud, juz 11/161]

Makna syar’iy ‘ashabiyyah seperti di atas disarikan dari beberapa hadits Nabi saw berikut ini:

Imam Abu Dawud menuturkan sebuah riwayat dari Watsilah bin al-Asqa’ ra, bahwasanya ia mendengar bapaknya berkata: Saya (bapak Watsilah bin al-Asqa’ ra) bertanya, “Yaa Rasulullah, apa ‘ashabiyyah itu?Beliau menjawab, “Kamu menolong kaummu atas kezaliman”. [HR. Imam Abu Dawud]

Imam An Nasaa’iy meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Abbad bin Katsir al-Syamiy dari seorang perempuan yang bernama Qusailah, bahwasanya ia berkata, “Aku pernah mendengar ayahku berkata, “Saya bertanya kepada Nabi saw, seraya berkata, “Yaa Rasulullah apakah termasuk ‘ashabiyyah, seorang laki-laki yang mencintai kaumnya? Nabi saw menjawab, “Tidak. Tetapi, termasuk ‘ashabiyyah adalah seorang laki-laki menolong kaumnya dalam kezaliman”.[HR. Imam An Nasaaiy].

Jadi ashabiyyah telah menempatkan kecintaan kepada organisasi, jamaah, suku, bangsa dan negara di atas segalanya. Bahkan tidak lagi menggunakan kacamata Islam dalam melakukan pembelaan terhadap kelompok, suku, bangsa dan negaranya. Kecintaan yang benar adalah kecintaan yang dibingkai oleh keimanan dan koridor ajaran Islam.

Keempat, peristiwa penaklukan kota Mekah yang dilakukan oleh Rasul saw. Yang perlu dicatat bahwa penaklukan Mekah dengan damai. Dengan penuh kemuliaan, Rasul Saw, memberikan pengampunan umum kepada penduduk Mekah. Selanjutnya Rasul Saw menggabungkan Mekah menjadi bagian dari wilayah kekuasaan yang berpusat di Madinah.

Inilah bukti nyata bahwa Rasul saw sangat mencintai negeri kelahirannya. Sebuah kecintaan yang didasari oleh iman dan Islam. Rasul Saw tidak membiarkan negeri kelahirannya tetap dalam kegelapan sistem jahiliyyah yang zalim. Islam hadir di Mekah dengan damai bukan sebagai penjajah. Rasul Saw ingin di Mekah ditegakkan syariat Islam dengan paripurna.

23 Agustus 2020/4 Muharram 1442 H

Ainul Mizan
(Peneliti LANSKAP)

Artikel Terkait

Back to top button