OPINI

Memaknai Tahun Baru Islam

Seluruh umat muslim di dunia telah memasuki tahun baru Islam 1440 hijriah. Momen penanda hijrahnya Rasulullah Saw ini disambut gembira oleh seluruh umat muslim di berbagai belahan dunia. Berbagai kegiatan seperti pawai, tablig akbar, sampai lomba-lomba Islami menjadi pemandangan biasa saat perayaan tahun baru tiba dengan harapan di tahun berikut kehidupan menjadi lebih baik.

Namun benarkah momen menyambut tahun baru hijriah ini hanya sekedar seremonial belaka?

Tahun baru hijriah merupakan suatu momen yang sangat penting bagi umat Islam karena menandai peristiwa penting yang terjadi dalam sejarah Islam yaitu memperingati penghijrahan Nabi Muhammad Saw dari Kota Mekkah ke Madinah.

Fakta saat ini menunjukkan, sejarah hijrahnya Rasulullah beserta para sahabat ini hanya dijadikan perayaan tahunan semata dan sebagai sebuah seremonial belaka. Bagaimana tidak, momen yang seharusnya menjadikan kaum muslim lebih banyak bermuhasabah ternyata tidak tercermin sama sekali. Perayaan pawai dan karnaval dalam menyambut tahun baru hijriah misalnya, dilaksanakan sangat meriah dan tanpa sadar dipenuhi berbagai aktivitas yang melanggar syariat Allah. Contohnya aktivitas campur baur atau ikhtilat saat kegiatan pawai, belum lagi kegiatan yang dilakukan memakan waktu yang cukup lama. Tidak jarang sebagian kaum muslim tidak menunaikan sholat wajib dikarenakan sibuk dengan aktivitas pawai. Panitia pun tidak mengarahkan dan memfasilitasi peserta pawai untuk menunaikan ibadah sholat.

Di sisi lain, kehidupan kaum muslim tak ubahnya seperti masa jahiliyah dulu. Kemaksiatan yang dilakukan tidak hanya melibatkan satu individu saja, bahkan sampai pada tataran struktur negara. Sebut saja bagaimana kejahatan saat ini yang sangat meresahkan masyarakat, pembunuhan, pemerkosaan, pengedaran narkoba menjadi pemandangan biasa bahkan di negeri-negeri kaum muslimin.

Umat saat ini terjerat dalam kepribadian yang tidak islami. Lihatlah bagaimana pergaulan remaja muslim kita yang kian hari semakin memprihatinkan. Muda mudi tanpa malu berduaan bahkan di tempat umum, melakukan aktivitas pacaran, tidak jarang berujung kepada pergaulan bebas. Ketika tayangan mendidik tergantikan oleh hiburan televisi yang berisi tayangan percintaan, saling hina, membuka aib orang lain, sampai tayangan supranatural menjadi tontonan masyarakat seolah tanpa ada seleksi dari lembaga penyiaran.

Di saat keprihatinan terhadap mental pemuda muslim kian besar, tindak korupsi tumbuh subur di negeri mayoritas muslim terbesar di dunia ini. Lihat saja bagaimana kasus yang menjerat para pejabat yang notabene seorang muslim dan merupakan wakil rakyat. Negara yang seharusnya bertugas mengurusi seluruh urusan umat nyatanya tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik, bahkan terkesan abai dalam menyelesaikan segala permasalahan tersebut.

Hijrah yang sejatinya merupakan penanda titik balik kehidupan seseorang dari kepribadian yang buruk menjadi kepribadian yang baik pun seolah menjadi trend semata. Sebagai contoh, betapa banyak remaja muslimah kita yang mengaku telah berhijrah namun tidak diikuti dengan memperdalam syariat Islam dengan baik, pada akhirnya meski telah berganti dengan pakaian yang syar’i, bahkan mengenakan cadar, namun masih melakukan aktivitas pacaran, masih melakukan aktivitas campur baur yang tidak sesuai dengan hukum syara’, tanpa malu bergaya dan menonjolkan dirinya sebagai di sosial media, sehingga mengundang berbagai komentar dari para pemuda.

Tanpa sadar kaum muslim telah dijauhkan dari agamanya sendiri. Penerapan sistem kufur telah berhasil mengebiri ajaran Islam. Sistem demokrasi-kapitalisme yang dipakai saat ini misalnya, yang memisahkan agama dari kehidupan sehingga agama hanya mengatur aktivitas ibadah maghdah saja seperti sholat, puasa, zakat, dll. Sedangkan sistem pergaulan, sistem ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, bahkan negara tidak boleh diatur oleh agama, nyatanya telah berhasil memporak-porandakan ketahanan keluarga bahkan negara. Hal ini diperparah dengan berbagai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah yang seolah memfasilitasi kaum muslim untuk melakukan kemaksiatan. Sebagai contoh, sistem hukum yang diberikan kepada pelaku korupsi nyatanya tidak memberikan efek jera terhadap pelakunya, ini terbukti dengan berbagai penemuan sel tahanan mewah bagi para koruptor, pemotongan masa tahanan (remisi) bagi tahanan lapas, bahkan mantan narapidana diperbolehkan mencalonkan diri sebagai pejabat negara.

Sistem ekonomi kapitalisme-neoliberalisme yang kini diterapkan di Indonesia juga nyatanya menyebabkan keterpurukan semakin dalam. Nilai tukar rupiah terhadap dollar yang semakin merosot hingga menembus Rp. 15 ribu per dollar. Hal ini menyebabkan utang negara kian melonjak.

Di sisi lain, prinsip neoliberalisme yang ada akhirnya mengesampingkan kepentingan rakyat. Ini terlihat dari kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah dimana pemerintah yang justru mengimport beras, gula dan garam di saat produksi dalam negeri melimpah. Yang ada justru kerugian yang dialami para petani.

Umat Islam saat ini telah jauh dari nilai-nilai hijrah yang telah dicontohkan Rasulullah. Betapa teguh keimanan dan kepribadiaan kaum muslim sebelum hijrah ke Madinah, betapa berat hari-hari yang dijalani sebagai konsekuensi keimanan yang mereka pegang. Dengan melihat penderitaan yang dialami oleh kaum muslimin saat itu, serta syiar Islam yang dinilai tidak mendapat progres yang berarti, maka Rasulullah memutuskan untuk hijrah ke kota Madinah.

Hijrah menurut bahasa artinya berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain, dari suatu keadaan ke keadaan lain. Secara tradisi, hijrah bermakna keluar atau berpindah dari satu negeri ke negeri yang lain untuk menetap di tempat tersebut.

Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan bahwa hijrah terbagi menjadi dua macam, yakni hijrah bathinah (batin) dan zhahirah (lahir). Hijrah batin adalah meninggalkan apa saja yang diperintahkan oleh hawa nafsu yang selalu memerintahkan keburukan dan seruan setan. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya, “Bersegeralah kalian menuju ampunan Tuhan kalian dan surga seluas langit dan bumi yang disiapkan bagi orang-orang yang bertakwa”. (QS. Ali Imran[3]: 133)

Sedangkan hijrah lahir adalah menyelamatkan agama dari fitnah. Menurut al-Jurjani dalam At-Ta’rifat, hijrah adalah meninggalkan negeri yang berada di tengah kaum kafir dan berpindah ke Dar al -Islam. Dar al- Islam adalah suatu wilayah (negara) yang menerapkan syariah Islam secara total dalam segala aspek kehidupan dan keamanan sepenuhnya di tangan kaum muslim. Sedangkan darul kufur adalah wilayah (negara) yang tidak menerapkan syariah Islam dan keamanannya tidak ditangan kaum muslim, sekalipun mayoritas penduduknya beragama Islam. Ini dilihat dari fakta hijrah Rasulullah bersama para sahabat dari Mekkah yang pada saat itu merupakan darul kufur ke Madinah yang kemudian menjadi darul Islam.

Saat ini umat Islam tidak dapat berhijrah secara kaaffah (menyeluruh) disebabkan karena sistem yang berlaku tidak memberikan ruang kepada kaum muslim untuk berubah secara total. Sedangkan hijrah secara kaffah mampu dilakukan apabila aqidah, ukhuwah serta syariah mampu diterapkan dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun bernegara. Namun sayangnya, syariah yang seharusnya menjadi payung untuk menyempurnakan hijrah seorang muslim tidak dapat terlaksana, ini disebabkan ketiadaan negara Islam sebagai institusi yang akan menerapkan seluruh aturan Islam secara sempurna.

Oleh sebab itu, hijrah kaffah dapat dilaksanakan apabila telah tegak Dâr al-Islâm yakni Daulah Islamiyah. Inilah hijrah hakiki yang harus kita lakukan saat ini, sebagai bentuk implementasi hijrah ala Rasulullah SAW, yakni dengan memutus dan meninggalkan segala kemaksiatan, istiqomah dalam ketaatan dan gigih berjuang untuk demi tegaknya Dâr al-Islâm yaitu sistem pemerintahan Islam.

Fardila Indrianti, S.Pd
(The Voice of Muslimah Papua Barat dan Anggota Akademi Menulis Kreatif)

Artikel Terkait

Back to top button