Membangun Kerja Sama Bisnis Islami
Membangun sebuah perusaahaan besar di dunia Islam harusnya bukan sesuatu yang sulit. Dunia Islam memiliki semua sumber daya yang dibutuhkan. Melimpahnya sumber daya alam, tersedianya sumber daya manusia yang mumpuni, konsep-konsep yang telah diajarkan oleh Islam dalam membangun perseroan juga sangat brilian.
Lebih dari 14 abad yang lalu, Rasulullah Saw telah mengakui adanya kerja sama bisnis dalam bentuk perseroan (syirkah). Imam Al Bukhari menuturkan sebuah riwayat dari Sulaiman bin Abi Muslim yang berkata, ”Saya dan pesero bisnis saya pernah membeli sesuatu secara tunai dan kredit. Kemudian kami didatangi oleh Bara’ bin Azib. Kami lalu bertanya kepadanya. Ia menjawab,”Saya dan pesero bisnis saya Zaid bin Arqam juga telah mempraktikkan hal demikian. Selanjutnya kami bertanya kepada Nabi Saw tentang tindakan kami tersebut. Beliau menjawab,”Barang yang diperoleh secara tunai silahkan kalian ambil, sedangkan yang diperoleh secara kredit silahkan kalian kembalikan”. (HR. Bukhari)
Kebolehan melakukan kerjasama bisnis dalam bentuk perseroan juga dijelaskan dalam sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud. Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT telah berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang melakukan perseroan (syirkah), selama salah seorang di antara mereka tidak berkhianat kepada peseronya. Apabila salah seorang di antara mereka mengkhianati peseronya maka Aku akan keluar dari yang keduanya” .
Kerjasama bisnis boleh dilakukan antarsesama muslim, antar sesama kafir dzimmi, atau antara muslim dan kafir dzimmi. Karena itu sah-sah saja seorang muslim melakukan kerjasama bisnis dengan orang Nasrani, Majusi, dan kafir dzimmi yang lain. Hal ini didasarkan hadits Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abdullah bin Umar yang mengatakan: ”Rasulullah Saw pernah mempekrjakan penduduk Khaibar –mereka adalah Yahudi- dengan mendapat bagian dari hasil panen buah dan tanaman”
Dalam hadits lain disebutkan:”Rasulullah Saw pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan cara menggadaikan baju besi Belia kepadanya”. (HR. Bukhari dari Aisyah)
Dalam kamus Al Munawir disebutkan bahwa kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika, yasyraku, syarikan/syirkatan/syarikatan, artinya menjadi sekutu atau serikat. Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, atau syarikah. Menurut Al-Jaziri dalam kitab Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba‘ah yang lebih fasih dibaca syirkah.
Menurut Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitab Nizamul Iqtishadi fil Islam, secara syar’i yang dimaksud syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan. Syirkah dapat berbentuk syirkah hak milik (syarikatul amlak) atau syirkah transaksi (syarikatul uqud). Syirkah hak milik adalah syirkah terhadap zat barang, seperti syirkah terhadap barang yang diwarisi oleh dua orang atau yang dibeli oleh keduanya. Sedangkan syarikatul uqudi mengembangkan hak milik seseorang.
Terdapat lima jenis syirkah yang tergolong syirkah uqud yaitu syirkah inan, syirkah abdan, syirkah mudharabah, syirkah wujuh dan syirkah mufawadlah.
Syirkah Inan
Syirkah Inan adalah syirkah antara dua orang atau lebih yang masing-masing mengikutkan modal ke dalam syirkah sekaligus menjadi pengelolanya. Syirkah model inan ini dibangun dengan prinsip perwakilan (wakalah) dan kepercayaan (amanah). Masing-masing pihak yang menyerahkan modalnya kepada mitranya, sekaligus memberikan kepercayaan serta ijin kepada untuk mengelolanya. Dengan kata lain, masing-masing pesero (syarik) saling mewakilkan. Keuntungan yang diperoleh akan dibagi berdasarkan kesepakatan, yang nisbahnya bisa sama atau berbeda. Sementara kerugian akan ditanggung oleh kedua pihak berdasarkan proporsi modal.