SUARA PEMBACA

Mempertanyakan Surat Edaran Pengaturan Suara Adzan

Di tengah panasnya kasus Wadas, kelangkaan minyak goreng dan JHT masyarakat dikejutkan kembali dengan pernyataan Menteri Agama (Menag) yang menganalogikan suara adzan dengan gonggongan anjing. Selain itu Menag juga mengeluarkan surat edaran terkait pengaturan suara adzan tersebut.

Dikutip Haluan Padang dari tayangan video sejumlah akun media sosial, Kamis, 24 Februari 2022, Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, pemerintah tidak melarang penggunaan sepiker, tetapi diatur biar tidak mengganggu lingkungan sekitar.

“Rumah ibadah umat muslim itu membunyikan toa, sehari lima kali dengan kenceng-kenceng secara bersamaan, itu rasanya bagaimana,” katanya di awal video diunggah akun Instagram @bela_rakyat88

Yaqut memberi contoh yang menurut dia paling sederhana dalam kehidupan bermasyarakat dan bertetangga.

“Misalnya saja kita hidup di masyarakat dalam satu komplek, kanan kiri depan belakang memelihara anjing semua, kemudian menggonggong dalam waktu bersamaan misalnya, kita terganggu enggak ?” kata dia seperti dilansir harianhaluan.com.

Tak ayal pernyataan Menag ini menimbulkan tanda tanya di masyarakat. Tak hanya tokoh agama bahkan masyarakat yang beragama non-muslim juga banyak mempertanyakan aturan tersebut.

Ketua Komisi VIII DPR RI, Yandri Susanto, menanggapi Surat Edaran Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushala yang dikeluarkan Menteri Agama (Menag). Menurutnya pengaturan tersebut tak bisa digeneralisasi diterapkan di seluruh daerah.

“Memang saya mengkritik juga, surat edaran itu tidak bisa digeneralisir, tidak bisa dia diperlakukan dari Sabang sampai Merauke. Ada daerah-daerah tertentu memang suara adzan itu nggak bisa diatur-atur, atau bahkan di Sumatera itu kan rumahnya jauh-jauh, kalau cuma 100 dB (desibel) enggak akan kedengaran,” kata Yandri, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (25/2).

Dia juga mengingatkan agar jangan sampai surat edaran tersebut memunculkan konflik horizontal. Karena itu dirinya meminta agar Kementerian Agama mengevaluasi agar tidak menggeneralisasi aturan tersebut.

“Jangan digeneralisir semua persoalan dan saya meyakini ini tidak bisa dilakukan secara keseluruhan. Misalnya di Sumbar, di Aceh di kantong-kantong pondok pesantren, itu sudah menjadi budaya, sudah menjadi kearifan lokal. Tapi misalnya di Bali, di Sulut, di NTT di Papua, itu sudah bagus kok toleransinya,” ujarnya.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button