Menag Bilang Tak Ada Sanksi Pidana bagi Pesantren, Bukhori Tetap Khawatir Adanya Kriminalisasi
Jakarta (SI Online) – Anggota Komisi VIII DPR RI, Bukhori Yusuf, mempertanyakan logika yang digunakan oleh Menag Fachrul Razi dalam penjelasan soal sanksi pidana untuk pendirian pesantren yang tidak berizin dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
Menurut Bukhori, pencermatan Menag dalam melihat isu ini kurang komprehensif sehingga menimbulkan celah.
Pertama, pada Pasal 15 UU No. 18/2019 tentang Pesantren disebutkan; “Pesantren melaksanakan fungsi pendidikan sebagai bagian dari penyelenggaraan pendidikan nasional”.
Baca juga: Klaim Tidak Ada Sanksi Pidana, Menag: Pendirian Pesantren Merujuk UU Pesantren
Ini menunjukan bahwa pesantren adalah bagian dari pendidikan nasional sebagai induk utama dalam pendidikan. Disamping itu, penyelenggaraan pendidikan nasional sesungguhnya telah diatur dalam UU No. 20 Tahun 2003. Sehingga, UU Pesantren sebenarnya telah cukup menjadi payung dan dasar untuk pendirian sekaligus perlindungan terhadap pesantren. Sayangnya, perihal sanksi tidak diatur sama sekali dalam UU tersebut.
“Kami tetap khawatir apabila Omnibus Law RUU Cipta Kerja disahkan akan menimbulkan potensi kriminalisasi,” ungkap Bukhori dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa 1 September 2020.
Sementara, ketentuan pidana/sanksi di dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) diatur dalam pasal 67 s/d pasal 71.
Kedua, sambungnya, isu ini tengah diadvokasikan oleh Anggota Komisi X DPR RI. Mereka berencana mengajukan ke panja Baleg dalam waktu dekat agar perubahan terhadap UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dikeluarkan dari Omnibus Law RUU Cipta Kerja termasuk regulasi terkait sanksi.
“Langkah yang kami lakukan ini sebagai peringatan kepada pemerintah agar tidak main-main dengan regulasi terkait sanksi, apalagi dalam UU Pesantren juga tidak mengatur ihwal sanksi. Sebab, apabila kami tidak menyuarakannya sejak sekarang, kami khawatir pemerintah akan abai terhadap potensi kriminalisasi masyarakat karena alasan mendirikan pondok pesantren. Ini akan sangat memilukan,” sambungnya.
Lebih lanjut, politisi PKS ini menganggap, kendati di dalam UU Pesantren tidak mengatur terkait sanksi, namun apabila ada pihak yang mempersoalkan pendirian pesantren, sangat mungkin pihak ini merujuk pada UU Sisdiknas. Sedangkan apabila UU Sisdiknas ini berhasil diubah melalui RUU Cipta Kerja, konsekuensinya adalah ulama atau kiai yang mendirikan ponpes tanpa izin bisa dikriminalisasi. Sebab, dalam UU Pesantren tidak ada ketentuan yang mengatur sanksi terkait pesantren yang tidak memiliki izin sehingga ketentuan mengenai sanksi akhirnya merujuk pada UU Sisdiknas.
Bukhori mengingatkan Menag agar tidak lupa bahwa terdapat asas hukum lain yang berbunyi “Lex Posterior Derogat Legi Priori” yang berarti bahwa hukum yang terbaru (Lex Posterior) mengesampingkan hukum yang lama (Lex Prior). Artinya, apabila Omnibus Law RUU Cipta Kerja disahkan tanpa adanya perbaikan terhadap Pasal 71 UU Sisdiknas versi RUU Cipta Kerja, khususnya perihal sanksi, maka posisi lembaga pendidikan, khususnya pesantren yang tidak memiliki izin berpotensi dikriminalisasi melalui pasal tersebut,” bebernya.
“Oleh karena itu, terkait pendirian pesantren saya mengusulkan agar bisa dikecualikan dari sanksi pidana/penjara,” tandasnya.
Sebelumnya, pada Senin (31/8), Menag Fachrul Razi memastikan bahwa penyelenggaraan pesantren tetap diatur oleh UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Ia mengklaim masalah pendirian pesantren merujuk pada UU tersebut dan tidak ada aturan tentang sanksi pidana di dalamnya.
Menag beralasan bahwa UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren adalah UU “lex specialis” sehingga berlaku kaidah “lex specialis derogat legi generali”, yakni asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum.
red: farah abdillah