OPINI

Mendesak, Grand Design Sektor Perunggasan Nasional

Daging dan telur ayam selama ini telah menjadi penopang gizi yang penting bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, karena harganya relatif murah. Mengutip data Susenas (2019), konsumsi protein masyarakat Indonesia sebagian besar masih ditopang oleh ikan dan seafood di tempat pertama, serta daging ayam dan telur di urutan kedua.

Sayangnya, meskipun Indonesia sudah surplus produksi unggas, konsumsi daging ayam di Indonesia masih terbilang rendah jika dibandingkan beberapa negara tetangga. Berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik), konsumsi daging di Indonesia hanya 12,79 kg per kapita per tahun. Bandingkan dengan Malaysia yang konsumsi dagingnya bisa mencapai 38 kg per kapita per tahun. Menurut data OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) dan juga FAO (Food and Agriculture Organization), tingkat konsumsi daging Indonesia, baik ayam maupun sapi, sejak dulu selalu berada di bawah Malaysia, Filipina, Thailand, atau Vietnam.

Masih rendahnya konsumsi daging unggas ini pula yang menyebabkan kenapa pasokan daging ayam di Indonesia jadi berlebih. Produksi daging ayam di Indonesia mencapai 3 juta ton, sementara kebutuhannya hanya 2,2 juta ton saja. Sehingga, ada kelebihan pasokan sekitar 750 ribu ton pada tahun 2020. Sementara, pada 2021, surplus diperkirakan akan terus bertambah, yaitu sekitar 25 persen dari total kebutuhan.

Surplusnya neraca produksi unggas di satu sisi patut disyukuri, karena artinya kita tidak perlu impor daging ayam. Namun, di sisi lain, angka surplus yang besar juga perlu diberi catatan, karena bisa jadi ada persoalan di baliknya. Dalam pantauan HKTI, para peternak kecil adalah pihak yang paling terpukul akibat berlimpahnya produksi unggas, karena telah menekan harga ayam.

Kalau bicara harga ayam, jangan melihat harga daging ayam di pasar tradisional atau pasar modern, sebab pasti mahal. Tetapi, lihatlah berapa harga ayam di kandang (farm gate), yang diterima oleh peternak. Harganya jauh di bawah harga pasar.

Rendahnya harga ayam milik peternak ini berbanding terbalik dengan mahalnya biaya input yang harus mereka bayar, seperti harga DOC (day old chicken), atau bibit ayam, serta harga pakan. Terkait DOC, sudah mahal harganya, kadang pasokannya terbatas, sehingga susah dicari. Tiap tahun bahkan selalu terjadi kekurangan DOC, yang membuat harganya bisa mencapai Rp. 7000 per ekor. Ini terjadi akibat buruknya manajemen stok pemerintah.

Tak berbeda dengan DOC, ketersedian bahan baku pakan yang utama seperti jagung, bungkil kedele sudah 5 bulan terakhir ini langka dan membuat harganya melonjak tinggi. Padahal DOC dan pakan ini porsinya mencapai 74,3% biaya produksi untuk saat ini. Jadi, kalau DOC dan pakan harganya tinggi, maka bisa dipastikan biaya produksi peternak juga tinggi. Sementara, di sisi lain, harga jual farm gate yang diterima peternak sangat rendah. Hal ini tentunya merugikan peternak kecil.

Tiga masalah ini, yaitu ketersediaan dan harga DOC, pakan, serta harga jual (farm gate), harus dicarikan solusi permanennya, agar tidak terus berulang setiap tahun. Di sinilah perlunya grand design dalam sektor perunggasan, untuk melindungi para peternak ayam, agar ekosistem bisnis mereka kondusif dan produksinya berkelanjutan.

Menurut saya, kebutuhan mengenai grand design perunggasan nasional ini cukup mendesak. Jika tidak segera disusun, usaha peternakan ayam akan semakin terpuruk dan daging ayam impor akan segera membanjiri Indonesia.

Dr. Fadli Zon, M.Sc.
Ketua Umum DPN HKTI, Anggota DPR RI, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra

Artikel Terkait

Back to top button