Mendudukkan Makna Toleransi Sesuai Syariat
Diksi toleransi selalu ramai diperbincangkan masyarakat terutama saat perayaan hari besar keagamaan. Opini yang berkembang, mayoritas Muslim kerap melakukan hegemoni dan arogansi terhadap minoritas di negeri ini. Yang menjadi kambing hitam tentu saja ajaran Islam, dengan dakwaan agama intoleransi yang dialamatkan padanya. Benarkah dakwaan tersebut?
Will Durrant, sejarawan non Muslim, dalam bukunya ‘The Story of Civilization’ menggambarkan keharmonisan antara Muslim, Yahudi dan Kristen selama 800 tahun Islam berkuasa di Spanyol. Pun sama dengan TW. Arnold sejarawan dalam bukunya ‘The Preaching of Islam, A History of Propagation of The Muslim Faith’ menjelaskan kekagumannya kehidupan toleransi di Turki Ustmani yang sebelumnya tidak dikenal di dunia Eropa.
Di kota-kota tua Islam, seperti Mesir sampai sekarang masih berdiri megah gereja Koptik yang berdampingan dengan masjid ‘Amru bin Ash. Di Yordania masih dijumpai peninggalan budaya Romawi. Di Yerussalem pun masih banyak berdiri sinagog dan gereja.
Kalaulah dakwaan Islam intoleran benar, ketika Islam berkuasa di atas angin selama 13 abad, Islam punya kesempatan besar untuk ‘memberangus’. Tapi kenyataannnya sama sekali tidak, bahkan sejarawan non muslim mengakui luar biasanya toleransi yang diterapkan Islam.
Tapi lihatlah realitas yang berkebalikan ketika Muslim minoritas di suatu negeri. Sejarah membuktikan Muslim selalu menjadi ‘korban’ kebrutalan mayoritas. Saat Spanyol dikuasai Kristen, ribuan kaum Muslim dipaksa murtad dan dibunuh dengan keji. Bahkan setiap tanggal 1 April diabadikan sebagai April Mop. Sebagai perayaaan keberhasilan mereka dalam mengelabui dan membunuh Muslim secara massal. Pun sampai saat ini masih terjadi pembunuhan massal yang dialami Muslim di Palestina, Rohingya di Myanmar, Uighur di China, Pattani di Thailand, Kashmir dan sebagainya.
Rahasia Toleransi Islam
Dalam bahasa arab, toleransi berasal dari kata tasaamuh yang berarti berlapang dada dan memaklumi. Paradigma toleransi Islam yang luar biasa dalam praktiknya, berjalan atas tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Pertama surat Al Kafiruun ayat 1-6. Allah SWT berfirman:
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Katakanlah, “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah. Dan kalian bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah men]adi penyembah apa yang kalian sembah, dan kalian tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untuk kalianlah agama kalian, dan untukkulah agamaku.”
Khitab (seruan) ayat-ayat ini ditujukan pada orang-orang kafir. Asbabun nuzul surat ini dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa orang-orang kafir pernah mengajak Rasulullah Saw untuk menyembah berhala mereka selama satu tahun. Dengan balasan mereka berjanji akan menyembah Allah selama satu tahun juga. Dalam ayat kedua, Allah menggunakan fi’il mudhari yang memerintahkan muslim untuk menafikkan ibadah sesembahan orang-orang kafir yang dulu disembah baik keadaan sekarang, maupun yang akan datang.