Meneladani Sang Khalifah yang Zuhud
Di antara kunci sukses saat menjadi Khalifah adalah hidup sederhana, tidak bergaya mewah, merakyat dan taat kepada Allah SWT. Itulah sikap ‘zuhud’ yang selalu menjiwai kepemimpinan beliau.
Alkisah dari berbagai sumber bahwa ketika menerima seorang tamu, sang Khalifah ini tiba-tiba mematikan lampu yang menerangi ruangan tempat ia bekerja.Tentu saja sang tamunya terkejut. Setelah ditanyakan, ternyata sang Kepala Negara ini sedang lembur kerja dengan fasilitas lampu yang minyaknya dari uang kantor, alias uang rakyat. Sementara, tamu yang diterimanya hanya untuk urusan pribadi bukan urusan kantor.Urusan pribadi tidak boleh difasilitasi dengan uang negara.
Itulah sepenggal kisah zuhud dan kejujuran dari seorang Kepala Negara (Khalifah) yang tercatat dengan ‘tinta emas’ dalam sejarah politik Umat Islam. Seorang Kepala Negara yang memiliki kepribadian sebagai seorang pemimpin sejati, sebagaimana yang dimiliki oleh Nabi Muhammad Saw (shidiq, amanah, fathonah dan tabligh).
Sang Khalifah itu tiada lain adalah Umar bin Abdul Aziz r.a., salah seorang khalifah dari Bani Umayyah. Anak Gubernur Mesir (Abdul Aziz), dan cicit dari Khalifah Umar bin al-Khathhab r.a.
Beliau lahir pada 2 November 682 M bertepatan 26 Safar 63 H di Madinah. Wafat 5 Februari 720 M bertepatan 20 Rajab 101 H di Aleppo. Berarti beliau wafat relatif masih muda berumur 37 tahun.
Selain dikenal kasalihan pribadinya, ia juga memiliki keshalihan sosial yang luar biasa. M. Amien Rais menyebutnya sebagai seorang yang memiliki semangat ‘tauhid sosial’. Manusia langka yang kini dan masa-masa selanjutnya sangat dirindukan dan dibutuhkan oleh rakyat Indonesia tercinta ini.
Pola hidupnya relatif sama dengan rakyat kelas menengah ke bawah. Ia tidak pernah membangun rumah dan menyediakan fasilitas pribadinya dengan biaya negara, padahal sebagai seorang Kepala Negara, ia memiliki hak untuk difasilitasi oleh negara. Bahkan, ia menolak pengawalan khusus, karena keinginannya untuk senantiasa dekat dengan rakyatnya.
Kalaulah ia menjadi Khalifah sekarang, tentu ia tidak akan minta difasilitasi mobil mewah, istana mewah dan tidak akan minta istananya dipagari dengan biaya miliaran rupiah.
Sebelum menjabat sebagai Khalifah, dikatakan oleh sejarawan Muslim, pendapatan pribadi pertahunnya berkisar 50.000 dinar, tetapi begitu ia terpilih menjadi Khalifah, segera ia lelang semua kekayaannya dan ia serahkan ke Baitul Mal (Kas Negara), hingga pendapatan pribadinya (pertahun) merosot menjadi 200 dinar. Sebuah perbandingan yang sangat mencolok.
Akibatnya, semasa menjabat menjadi Khalifah, ia tidak bisa menabung seperti ketika dirinya menjadi bagian dari rakyat biasa, apalagi berinvestasi di berbagai bidang usaha yang lazim dilakukan oleh para pejabat di zaman sekarang ini.
Umar- Sang Khalifah- hanya meninggalkan 17 dinar saat ia wafat. Sejumlah harta peninggalan yang terlalu kecil untuk ukuran seorang Kepala Negara. Karena uang sejumlah itu bisa dimiliki oleh hampir semua orang kala itu. Ia masih mengiringinya dengan wasiat agar sebagian harta peninggalannya digunakan untuk membayar sewa rumah (tempat tinggalnya hingga ia berpulang ke rahmatullah), dan sebagian lagi untuk membeli tanah pemakamannya.