NASIONAL

Mengapa Banteng Tak Laku di Sumbar?

Jakarta (SI Online) – PDI Perjuangan tak laku di Sumatera Barat. Hal itu dapat terlihat dari kekalahan demi kekalahan yang dialami PDIP dalam pemilu di Sumbar baik di tingkat DPRD, DPR RI, hingga pilpres.

Dari empat kali Pemilihan Legislatif (pileg) DPRD Sumbar tahun 2004 hingga 2019, PDIP hanya mengantongi rata-rata tiga sampai empat kursi, jauh dibandingkan Golkar yang memperoleh 16 kursi (Pileg tahun 2004), Demokrat 14 kursi (Pileg 2009), dan Gerindra 14 kursi (Pileg 2019).

Sementara di tingkat DPR RI, dari empat kali Pileg 2004 hingga 2019, PDIP hanya mendapatkan satu kursi yaitu pada Pileg 2014. Padahal PDIP menjadi pemenang pemilu pada Pileg tahun 2014 dan 2019.

Senada dengan itu, di tingkat Pilpres 2014 dan 2019, calon presiden dari PDIP, yaitu Presiden Joko Widodo, juga harus “gigit jari” di Sumbar.

Mengapa bisa demikian?

Budayawan Minang Edy Utama mengungkapkan, kekalahan demi kekalahan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di Sumatera Barat (Sumbar) dalam beberapa kontestasi pemilihan umum belakangan ini bukan semata disebabkan karena faktor ideologi seperti agama ataupun Pancasila.

Edy berpandangan, kekalahan PDIP disebabkan karena sejarah masa lalu yang digores oleh Presiden pertama Indonesia Sukarno di tanah Minang tersebut.

Edy mengungkapkan, Presiden Sukarno memerintahkan operasi militer di Sumbar dalam menumpas pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada akhir 1950-an.

Menurutnya, pengerahan kekuatan militer itu menjadi awal perpecahaan yang menimbulkan luka dan trauma mendalam di masyarakat Sumbar kepada Sukarno yang akhirnta berimplikasi kepada PDIP, representasi dari Sukarno.

Padahal awalnya hubungan antara Sukarno dan masyarakat Sumbar luar biasa terukir hangat dan dekat di awal perjuangan kemerdekaan sampai pada pertengahan tahun 1950-an.

Edy menyebut banyak pahlawan nasional, berasal dari Sumbar, memiliki hubungan dekat dengan Sukarno dan berjuang bersama dalam merebut hingga mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Bahkan menjadi wakil presiden pertama yang mendampingi Sukarno, yaitu Mohammad Hatta.

Namun hubungan itu berakhir luka yang dalam ketika Sukarno mengerahkan kekuatan militer di Tanah Minang.

“Operasi militer terhadap PRRI menjadi awal perpecahan dan berdampak teramat besar pada Sumbar, pada orang Minangkabau. Meninggalkan luka yang dalam dan fatal yang sampai sekarang tidak bisa dilupakan,” kata Edy seperti dilansir BBC News Indonesia.

Luka tersebut, kata Edy, berdampak langsung pada dukungan masyarakat Sumbar kepada apapun yang terafiliasi dengan Sukarno, termasuk “PDIP yang dianggap sebagai representasi Sukarno, sampai sekarang PDIP sulit sekali diterima di Sumatera Barat,” kata Edy.

sumber: BBC News Indonesia

Artikel Terkait

Back to top button