Mengapa Muhammadiyah Emoh Memilih Jokowi?
Faktor kedua, terkait posisi partai-partai pendukung Jokowi yang justru menjadi faktor fundamental bagi warga Muhammadiyah untuk tidak mendukung Jokowi. Sikap warga Muhammadiyah dalam memposisikan Jokowi dan partai-partai pendukungnya rasanya menjadi mainstream di lingkup Muhammadiyah.
Dan sikap ini rasanya bukan hanya monopoli milik warga Muhammadiyah. Masih terlalu banyak umat Islam lainnya yang sepemikiran dengan mainstream warga Muhammadiyah. Jutaan umat Islam yang berasal dari beragam afilisasi organisasi keagamaan yang hadir pada Reuni 212 adalah gambaran dari umat Islam yang mempunyai kesamaan pandang dalam memposisikan Jokowi beserta partai-partai pendukungnya.
Mainstream warga Muhammadiyah berpandangan bahwa kebanyakan partai-partai pendukung Jokowi terlalu sering melukai perasaan umat Islam, yang tergambar dari beragam sikap politiknya, baik berupa kebijakan dan pernyataan-pernyataan para elitnya.
Dalam kasus Pilkada Jakarta, misalnya, tergambar bagaimana partai-partai pendukung Jokowi yang saat Pemilu 2014 didukung dan dipilih oleh mayoritas umat Islam justru tak mampu membaca kehendak mainstream umat Islam yang tidak menghendaki Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi Gubernur Jakarta. Bukan karena faktor agama, tapi dominan karena tabiat buruk Ahok yang arogan, suka melecehkan, dan menista, termasuk menista umat Islam, dan simbol utama umat Islam: al-Quran.
Entah sudah berapa kali pasca kasus Ahok, partai-partai pendukung Jokowi juga bersikap yang cenderung melukai perasaan umat Islam. Aksi-aksi damai yang dilakukan umat Islam, seperti Aksi 411, Aksi 212, termasuk Reuni Aksi 212 I dan II dilawan habis, bahkan mereka tega untuk menyebut mereka yang melakukan Aksi 212 sebagai bagian dari kelompok fundamentalis dan radikalis.
Mereka yang selama ini teriak lantang soal demokrasi ternyata tak mampu memahami aksi-aksi umat Islam tersebut sebagai bagian dari ekspresi demokrasi. Demokrasi tidak lagi dipahami sebagai nilai-nilai univeral yang boleh dilakukan oleh siapa pun, tapi demokrasi sangat bergantung siapa yang memaknai.
Dan sudah menjadi jamak bahwa partai-partai yang sedang dimabuk kekuasaan memang mempunyai kecenderungan kuat untuk alergi pada demokrasi. Jangankan menerapkan nilai-nilainya, mendengar nama demokrasi saja sudah bikin mual.