Mengapa Partai Islam Mudah Pecah?
Dalam hal ini Partai Islam perlu belajar bagaimana PDIP mengelola perbedaan dalam partainya. Lihatlah bagaimana Megawati membiarkan Ganjar dan Puan masing-masing bersaing untuk memperebutkan tiket 2024. Lihatlah bagaimana petinggi PDIP membiarkan kadernya menyebut pendukung Ganjar itu celeng bukan banteng.
Mungkin kalau di Partai Islam, kader-kader seperti itu langsung dipecat.
Bila Partai Islam ingin menjadi partai yang besar -misalnya ingin menyaingi PDIP- maka yang pertama dilakukan adalah memilih pemimpin atau ketua umum yang tepat. Orang nomor satu ini harus dipilih orang yang dewasa, tidak mudah emosional, bisa mengelola perbedaan anggotanya dan lain-lain. Tentu kealiman dan kecerdasan adalah syarat utamanya.
Yang kedua, partai Islam jangan mudah memecat anggotanya. Kecuali misalnya murtad atau melakukan dosa besar yang tidak terampunkan. Biarkan para kader berekspresi sesuai dengan ilmu dan pengalamannya dalam mengembangkan organisasi. Maka sikap PAN yang menyingkirkan Amien Rais dan sikap PKS yang menyingkirkan Anies Matta dan Fahri Hamzah adalah tidak tepat. Bila kader-kader yang mumpuni disingkirkan, maka kader itu tentu akan sakit hati dan menggerogoti partai yang menyingkirkan.
Kita bisa berkaca bagaimana Partai Masyumi di zaman Orde Lama, menjadi partai yang disegani. Masyumi yang terdiri dari berbagai ormas Islam, menjadi organisasi yang disegani. Keluarnya NU dari Partai Masyumi, tidak membuat Masyumi berantakan atau pecah. Karena pimpinan Masyumi, tidak pernah memecat tokoh-tokoh NU. Tapi tokoh-tokoh NU itulah yang keluar dari Masyumi, karena ‘menginginkan jabatan Menteri Agama’ (1952).
Pemilu 1955, Masyumi nomor dua dan NU nomor tiga. Karena tokoh-tokoh Masyumi yang menjaga integritasnya, maka dalam Majelis Konstituante, NU bergabung kembali dengan Masyumi.
Masyumi yang kuat dan tokoh-tokohnya yang hebat itu menjadikan Soekarno dan tokoh-tokoh PKI dengki atau iri hati. Maka dibuatlah rekayasa tahun 1960, Presiden Soekarno membubarkan Masyumi. Harian Abadi milik Masyumi yang sangat terkenal dan menjangkau seluruh Indonesia saat itu, ikut dibubarkan.
Kini, umat Islam yang masuk organisasi atau partai, jangan bernafsu semua ingin jadi nomor satu atau ketua umum. Anda boleh tidak jadi ketua umum, tapi kalau Anda ahli dalam bidang yang Anda geluti, maka anda bisa lebih hebat dari ketua umum.
Maka dalam teori manajemen, ada istilah pemimpin formal dan pemimpin informal. Pemimpin formal adalah pemimpin yang tertulis secara formal di birokrasi. Seperti presiden, gubernur, camat, ketua organisasi dan lain-lain. Pemimpin informal adalah pemimpin yang banyak mempengaruhi masyarakat dengan ide-idenya. Mungkin ia seorang kiai, dai, guru, penulis dan lain-lain.
Seorang pemimpin informal tidak pusing dengan jabatan. Ia bisa berkreasi sendiri, tanpa jabatan apapun.