Mengapa Universitas Columbia Keluarkan Mahasiswa Pro-Palestina?
Hampir 80 mahasiswa telah dikenai sanksi, beberapa di antaranya dikeluarkan secara permanen, akibat aksi protes pro-Palestina di kampus.

Surat kabar mahasiswa Columbia, Columbia Spectator, melaporkan bahwa sebagian besar mahasiswa menerima skorsing dua tahun. Mereka juga diminta meminta maaf kepada universitas sebelum diizinkan kembali ke kampus.
Awal tahun ini, pemerintahan Trump mengumumkan akan menahan pendanaan sekitar $400 juta untuk Universitas Columbia, dengan alasan kampus gagal mengatasi antisemitisme di tengah protes pro-Palestina.
Langkah itu memaksa Columbia menyetujui sejumlah tuntutan pemerintah demi negosiasi pemulihan pendanaan. Termasuk larangan penggunaan masker wajah di kampus dan memberikan wewenang khusus bagi 36 petugas keamanan kampus untuk menangkap mahasiswa.
Apa kata Columbia?
Dalam pernyataan pada Selasa, universitas menyatakan bahwa gangguan di Perpustakaan Butler selama masa belajar telah mempengaruhi ratusan mahasiswa dan berujung pada skorsing sementara para peserta.
Universitas menyebut sanksi yang dijatuhkan mencakup masa percobaan, skorsing satu hingga tiga tahun, pencabutan gelar, dan pengeluaran permanen.
Namun, universitas tidak menyebut berapa banyak mahasiswa yang terkena masing-masing sanksi, atau siapa saja identitas mereka, dengan alasan privasi.
“Institusi kami harus fokus menjalankan misi akademiknya bagi komunitas kami. Untuk menciptakan komunitas akademik yang sehat, harus ada rasa saling menghormati terhadap satu sama lain serta kebijakan dan aturan dasar universitas,” kata pernyataan itu. “Gangguan terhadap aktivitas akademik melanggar kebijakan universitas dan pelanggaran semacam itu akan menghasilkan konsekuensi.”
Bagaimana respon mahasiswa?
Berita tentang skorsing dan pengeluaran ini datang pada hari yang sama ketika Mahmoud Khalil, pemimpin protes Universitas Columbia yang menjadi target deportasi Presiden Donald Trump, bertemu dengan anggota legislatif di Washington, DC. Khalil, 30 tahun, adalah penduduk tetap AS yang baru dibebaskan dari tahanan imigrasi di Louisiana sebulan lalu.
Khalil masih menghadapi ancaman deportasi di bawah pemerintahan Trump, yang menggunakan ketentuan lama dari Immigration and Nationality Act 1952 untuk mengusir mahasiswa internasional yang terlibat dalam advokasi pro-Palestina.
Menanggapi pengumuman sanksi dari Columbia pada Selasa, kelompok mahasiswa CUAD menyatakan: “Sementara AS dan Israel membuat 2,1 juta penduduk Gaza kelaparan hingga mati, Columbia bekerja sama dengan [pemerintahan Trump] untuk menangguhkan puluhan mahasiswa karena aktivisme pro-Palestina.”
Kelompok tersebut menambahkan bahwa skorsing ini adalah yang terbesar dalam sejarah Columbia untuk satu protes politik dan “jauh melampaui preseden hukuman untuk teach-in atau pendudukan gedung yang tidak terkait Palestina.”
“Mahasiswa tetap berkomitmen mengakhiri genosida Israel yang didukung AS dan Columbia, terlepas dari sanksi sekolah,” kata pernyataan itu.