Mengembalikan Peran Mulia Perempuan
“Perempuan adalah tiang negara.” Ungkapan tersebut rasanya cukup menggambarkan betapa pentingnya peran perempuan dalam membangun sebuah peradaban. Maka penting kiranya mengembalikan peran mulia tersebut pada posisinya, sehingga perempuan mampu berdaya sesuai dengan fitrahnya.
Dalam suasana kapitalistik saat ini, posisi perempuan sepertinya berada dalam situasi dilematis. Di satu sisi, perempuan dituntut untuk menjalankan kewajiban sebagai ibu dan istri, di sisi lainnya mereka juga dituntut untuk berdaya secara materi. Dan seringkali kondisi seperti ini telah mendorong terjadinya pengabaian kewajiban utama perempuan yaitu sebagai ibu yang mendidik anak-anaknya.
Ditambah lagi dengan gencarnya kampanye kesetaraan gender oleh kaum feminis, perempuan seakan diworo-woro untuk terlibat di aktivitas publik secara massal yaitu dengan bekerja dalam rangka mengangkat taraf hidupnya. Namun pada realitasnya, hingga saat ini kemiskinan masih saja menjadi problem yang menimpa perempuan di belahan dunia manapun.
Padahal kemiskinan telah menyebabkan lahirnya persoalan-persoalan lainnya, di antaranya adalah maraknya bisnis pornografi, pelacuran, bahkan kekerasan terhadap perempuan. Ini menunjukkan iming-iming feminisme bahwa bila perempuan berdaya secara ekonomi akan mengubah nasibnya menjadi lebih baik, ternyata tidak bisa memberikan solusi hakiki terhadap permasalahan tersebut.
Lebih jauh lagi, kaum feminis juga kerap menuduh syariat Islam yang telah menyebabkan keterkungkungan pada kaum perempuan. Mereka memandang perempuan dalam Islam tidak memiliki kebebasan dalam memilih arah hidup dan menentukan keinginannya. Padahal semua itu hanyalah tuduhan-tuduhan tanpa dasar yang jauh dari pemahaman yang sebenarnya.
Untuk itu penting mendudukkan kembali bagaimana peran hakiki perempuan agar dapat dijalankan sesuai dengan tujuan dari penciptaannya.
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (TQS. At Taubah [9]: 71)
Al Qur’an menjelaskan bahwa Allah menciptakan laki-laki dan perempuan bukan dalam rangka untuk saling menyaingi, tetapi saling melengkapi satu sama lain. Keduanya memiliki tugas yang sama dalam kehidupan di dunia yaitu beribadah, di antaranya melaksanakan shalat, zakat, beramar ma’ruf nahiy munkar dan taat kepadaNya.
Selain itu juga, Allah memberikan kewajiban-kewajiban sesuai dengan kodrat masing-masing. Seperti misalnya kewajiban mencari nafkah bagi laki-laki, dan kewajiban sebagai ibu dan pengatur rumah tangga bagi perempuan. Pembagian peran-peran tersebut bukan berarti menempatkan satu pihak lebih tinggi daripada yang lain. Karena Allah sendiri memandang manusia sama di hadapanNya. Yang membedakan di antara manusia adalah ketakwaannya.
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu”. (QS Al-Hujurat [49]: 13).
Maka semestinya dipahami bahwa pengaturan peran antara laki-laki dan perempuan oleh syariat agar dapat dijalankan dalam rangka mencapai derajat kemuliaan tersebut. Bukan untuk saling mengungguli satu sama lain. Tetapi agar tercipta hubungan kerjasama yang harmonis demi terwujudnya tujuan penciptaan manusia, yaitu beribadah kepada Allah Swt.
Dalam Islam, perempuan memiliki peran yang sangat penting baik di ranah domestik maupun publik. Pada ranah domestik, perempuan memiliki tanggung jawab sebagai ummu wa robbatun bayt (ibu dan pengatur rumah tangga). Di tangan seorang ibulah tugas melahirkan, mendidik dan menumbuhkan generasi berkualitas berada. Peran ini adalah tugas yang krusial bagi pembangunan sebuah peradaban.