Menghentikan Aliran Kekayaan Negara Keluar Negeri
Salah satu isu utama yang diangkat dalam debat keempat Pilpres 2019 adalah mengalirnya kekayaan negara keluar negeri. Bahkan Capres 02, Prabowo Subianto menandaskan bahwa lebih baik pakai teknologi lama, asalkan kekayaan negara tidak mengalir keluar negeri. Semua serba elektronik, memakai kartu-kartu sehingga terlihat maju dan praktis. Lantas, Capres 02 ini mempertanyakan untuk apa kemajuan-kemajuan itu bila kekayaan negara mengalir keluar negeri (www.nasional.kompas.com, Sabtu 30 Maret 2019).
Menilik keterangan dari Menteri Keuangan, Sri Mulyani, bahwa sekitar Rp3.250 trilyun kekayaan orang Indonesia berada di luar negeri. Sebanyak Rp2.600 trilyun di antaranya berada di Singapura (detikfinance, 20 September 2016). Hal demikian menurutnya yang menyebabkan tax ratio di Indonesia tergolong rendah dibanding negara-negara tetangga. Tax ratio Indonesia berkisar 11,89 persen di tahun 2012.
Di sisi lain, Sumber daya alam Indonesia masih dikangkangi oleh swasta dan asing di antaranya PT Newmont di Nusa Tenggara asal Colorado yang setiap tahunnya menghasilkan emas mencapai 200-300 ribu ons emas per tahun. Conoco Phillips asal Amerika Serikat yang mngelola tambang minyak bumi di Riau, Sumatera Selatan dan Jambi (www.boombastis.com/perusahaan-asing/67780). Termasuk Freeport Mc Moran asal USA di Papua. Nilai kekayaan yang dikeruk Freeport sangat besar. Pajak Freeport sekitar Rp103 trilyun. Menurut Menkeu, Penerimaan masih lebih besar (detikfinance, 14 Juli 2018).
Mengalirnya kekayaan negara keluar negeri tentunya akan berimbas kepada perekonomian bangsa.
Pendanaan bagi pembangunan akan terhambat. Program-program kesejahteraan rakyat dengan diterbitkannya berbagai jenis kartu hanya menjadi hiasan indah karena uangnya tidak mencukupi bahkan tidak ada. Apakah kemudian sektor penerimaan negara dari pajak ditingkatkan? Lagi-lagi rakyat kecil yang harus menanggung beban.
Jika diteliti lebih jernih, persoalan aliran kekayaan negara keluar negeri, tidak bisa dilepaskan dari kebijakan desain sistem ekonomi negara. Melalui desain sistem ekonomi inilah, bisa dilihat arah, target dan tujuan pengelolaan dan kebijakan ekonominya.
Islam sendiri mempunyai panduan yang jelas dan rinci dalam desain sistem ekonominya terutama dalam konteks yang dibicarakan dalam tulisan ini ,sebagaimana berikut:
Pertama, konsep kepemilikan didefinisikan sebagai ijin dari Allah dan Rasul-Nya dalam mengambil manfaat dari sebuah komoditas ekonomi. Artinya akan bisa disebut mengambil hak orang lain bila ia melanggar ketetapan baku konsep kepemilikan Islam.
Adapun konsep kepemilikan Islam itu meliputi kepemilikan individu, umum dan negara. Dengan demikian, dengan seimbang, kemakmuran individu, komunitas dan negara bisa diwujudkan.
Kekayaan alam seperti tambang emas, minyak bumi dan lain sebagainya merupakan milik umum bersama rakyat. Negara hanya berhak mengelola. Hasilnya semuanya dikembalikan dalam bentuk pelayanan kepada rakyat dengan sebaik – baiknya. Kalaupun dalam pengelolaannya, negara membutuhkan perusahaan swasta dan asing dengan kecanggihan teknologinya, statusnya bukan sebagai investor.
Apabila yang dibutuhkan adalah alat beratnya tentunya statusnya adalah menyewa. Sedangkan terkait tenaga ahli dari luar negeri yang dibutuhkan, statusnya sebagai pekerja ahli yang digaji. Tidak boleh ada swastanisasi dalam kekayaan milik umum, yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Kedua, mekanisme terkait ketersediaan dana yang tidak mencukupi. Dalam hal ini, masih ada peninjauan mendalam terkait di sektor manakah yang tidak mencukupi.
Di dalam sektor yang tidak mendesak dan tidak mudhorot seperti pembangunan jalan baru, di samping jalan yang sudah ada. Bila dana tidak mencukupi tentunya tidak akan dipaksakan untuk membangunnya. Apalagi mengandalkan dari sektor utang luar negeri.
Berikutnya adalah di dalam sektor yang mendesak dan jika tidak terpenuhi akan menjadi mudharat. Dalam hal ini seperti pembayaran gaji para pegawai negara, sistem alutsista pertahanan negara, penanggulangan bencana dan lainnya. Apabila terdapat kekosongan kas negara, maka negara dibolehkan untuk mengambil pajak.
Pengambilan pajak ini hanya untuk mencukupi besarnya bujet yang dibutuhkan. Pajak bukan sebagai instrument utama dan terus-menerus. Uniknya pajak ini hanya diambilkan dariorang -orang yang kaya. Jadi orang-orang kaya tidak perlu lagi melarikan hartanya keluar negeri, apalagi untuk menghindarkan diri dari pajak, sebagaimana kasus bocornya Panama Papers.
Ketiga, mekanisme distribusi ekonomi baik melalui jalur ekonomi maupun non ekonomi. Jalur ekonomi melalui jual beli dan akad kerja. Sedangkan jalur non ekonomi melalui infak, wakaf, sedekah dan zakat.
Jadi orang-orang kaya akan selalu dimotivasi kesadarannya agar senantiasa ikut bertanggung jawab dalam mewujudkan kesejahteraan ekonomi bangsa dan negara. Tatkala seorang laki-laki tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarganya. Maka tanggung jawab pemenuhan kebutuhan itu berpindah kepada masyarakat dan negaranya. Secara tidak langsung melalui inisiatif anggota masyarakat yang kaya untuk menyediakan lapangan kerja. Di samping negara juga menyediakannya pada sektor yang vital. Adapun bantuan langsung yang berupa infak, sedekah dan zakat, berkaitan erat dengan pemenuhan langsung.
Demikianlah mekanisme dalam ekonomi Islam yang mampu mensejahterakan baik secara personal dan komunal. Di samping itu, mampu menghentikan aliran kekayaan negara keluar negeri.
Ainul Mizan
Guru, tinggal di Kota Malang, Jawa Timur