Mengucapkan Selamat Natal
Meski ada ulama yang membolehkan mengucapkan selamat natal, dengan keyakinan bahwa itu berkaitan dengan hari lahir Nabi Isa maka menurut saya itu bermasalah. Sebab tanggal 25 Desember bukanlah hari lahir Nabi Isa.
Peringatan Natal baru tercetus antara tahun 325 – 354 oleh Paus Liberius, yang ditetapkan tanggal 25 Desember, sekaligus menjadi momentum penyembahan Dewa Matahari. Oleh Kaisar Konstantin, tanggal 25 Desember tersebut akhirnya disahkan sebagai kelahiran Yesus (Natal).
Isyarat dari Al-Qur’an dan Bibel menjelaskan bahwa Isa Al Masih tidak dilahirkan pada tanggal 25 Desember. Dalam Al-Qur’an dikatakan, “dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menjatuhkan buah kurma yang masak kepadamu.” (QS. Maryam: 25). Menjatuhkan buah kurma yang masak? Kapan seseorang bisa mendapatkan buah kurma masak? Pada musim panas, pertengahan musim panas. Bukan di musim dingin. Dan musim panas tidak di bulan Desember.
Saya pernah membaca fatwa Syekh Yusuf Qaradhawi tentang ucapan selamat natal. Ia mengatakan bahwa ucapan itu dibolehkan bila umat Islam dalam kondisi minoritas. Alias terpaksa. Misalnya kalau ia tidak mengucapkan selamat natal, organisasi Islamnya bisa dibubarkan, dihalangi dakwah dan lain-lain. Bila umat Islam dalam keadaan damai dan mayoritas, tidak seharusnya mengucapkan.
Minder. Itulah nampaknya yang terjadi pada para pejabat di negeri kita. Mereka takut kalau tidak mengucapkan selamat natal, dicap radikal, tidak toleran dan lain-lain. Padahal kalau mereka mau menjelaskan tentang pandangan Islam terhadap Natal, saya yakin mereka akan menerimanya. Mereka faham umat Islam tidak mungkin disuruh mengucapkan kata-kata yang bertentangan dengan keyakinannya.
Adanya pohon natal yang saat ini dipasang di Kantor Kemenag pusat juga patut disesalkan. Ini menunjukkan bahwa Menteri Agama saat ini tidak punya misi. Ia menerima semua masukan, meskipun itu tidak menguntungkan Islam.
Bila seorang pejabat Muslim punya misi, maka ia justru akan mencoba melakukan islamisasi terhadap sekelilingnya. Ia akan mendakwahi atau mengajak orang-orang non Muslim untuk masuk Islam. Bila mereka tidak mau, maka biarlah ‘lakum diinukum waliyaddiin.’
Seorang pejabat Muslim bukan kemudian menuruti semua keinginan orang-orang non Muslim dan meremehkan agamanya sendiri.
Tapi begitulah dalam hidup. Beda antara orang yang punya misi dan tidak. Beda antara mereka yang memperjuangkan keyakinan dengan mereka yang hanya memperjuangkan materi dan jabatan. Tokoh-tokoh Masyumi dulu berprinsip, hidup adalah akidah dan jihad. Wallahu azizun hakim. []
Nuim Hidayat, Anggota MUI Depok.