Menguji Keimanan pada Al-Qur’an
Telah berlalu Ramadhan dan sampailah kita di bulan Syawal. Kita berdoa semoga semua amal saleh yang telah dilakukan diterima Allah ﷻ dan mendapat pahala besar di sisi-Nya.
Dengan segala kemuliaannya, tidak salah kiranya kita sedikit bernostalgia. Bulan Ramadhan adalah bulannya Al-Qur’an. Bulan mulia diturunkannya pedoman hidup, buku panduan hidup manusia, Al-Qur’anul kariim. Kumpulan firman Tuhan yang menjadi perspektif dan standar baru untuk manusia dan menjamin keselamatannya di dunia dan akhirat.
Dalam kitab Nizhamul Islam, pada bab pertama “Jalan Menuju Iman” Syeikh Taqiyyuddin An-Nabhani menjelaskan tentang bagaimana jalan keimanan kepada Al-Qur’an itu dibangun. Kata beliau, terdapat tiga kemungkinan terkait kebenaran Al-Qur’an.
Kemungkinan pertama, apakah Al-Qur’an buatan orang Arab? Sebab nyatanya ia berbahasa Arab, dan yang paling memungkinkan menguasai dan ahli di dalamnya adalah orang Arab. Sehingga terdapat kemungkinan orang Arab yang membuatnya. Kemungkinan ini jelas bathil sebab Allah sendiri yang sudah menantang dalam berbagai ayat dalam Al-Qur’an untuk membuat surat yang serupa, tapi dari detik ayat itu turun hingga hari ini tidak ada orang Arab dan siapapun di dunia ini yang bisa menjawab tantangan itu. Bahkan banyak diceritakan pula bahwa para penyair Arab yang terbiasa dengan gubahan-gubahan syairnya yang indah mengakui bahwa ini bukan perkataan manusia.
Kemungkinan yang kedua, apakah ini buatannya Muhammad? Kemungkinan ini juga jelas batil sebab Muhammad ﷺ adalah seorang individu dari Arab juga. Bagaimanapun jeniusnya, tetap ia sebagai seorang manusia yang menjadi salah satu anggota dari masyarakat atau bangsanya. Selama seluruh bangsa Arab tidak mampu menghasilkan karya yang serupa, maka masuk akal pula apabila Muhammad ﷺ—yang juga termasuk salah seorang dari bangsa arab— tidak mampu menghasilkan karya yang serupa. Di samping itu, bukti kongkret menunjukkan bahwa ketika Rasulullah ﷺ meyampaikan Al-Qur’an, tidak jarang bersamaan dengan beliau mengeluarkan hadits, bahkan sebagiannya mencapi derajat mutawatir. Ternyata tidak ada satupun dari hadits-hadits itu yang gaya bahasanya menyeruapi Al-Qur’an, sama sekali berbeda. Jadi jelas, ini bukan berasal dari Muhammad ﷺ.
Maka tinggallah kemungkinan yang ketiga bahwa ini adalah Kalamullah, firman Allah ﷻ, benar-benar perkataan Tuhan untuk umat manusia. Tidak ada kemungkinan lainnya.
Kita semua mengimani kebenaran Al-Qur’an sebagai kalamullah. Namun demikian, yang harus direnungi adalah jika kita meyakini ini datang dari Allah sebagai petunjuk bagi umat manusia, sebagai buku panduan kehidupan manusia, sebagai aturan yang membedakan mana yang benar dan salah, bukankah berari setiap ayat, setiap kalimat didalamnya wajib diimani dan wajib diterapkan ketika berbentuk amaliah praktis? Bukankah tidak boleh bagi kita melewatkan barang satu ayat saja untuk tidak diterapkan?
Bukankah setiap ayat yang senantiasa kita baca dan kita ulang-ulang serta berlomba mengkhatamkannya harus diambil seluruhnnya? Setiap aturan yang lahir darinya wajib diterapkan secara total?
Tapi mengapa hari ini justru banyak kita temui realitas yang tidak sama dengan yang Allah perintahkan? Sebut saja beberapa ayat berikut:
“Laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana,” (QS. Al-Maidah: 38).
“Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (melaksanakan) agama (hukum) Allah jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Hendaklah (pelaksanaan) hukuman atas mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang mukmin,” (QS. An-Nur: 2).
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu (melaksanakan) qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, dan perempuan dengan perempuan. Siapa yang memperoleh maaf dari saudaranya hendaklah mengikutinya dengan cara yang patut dan hendaklah menunaikan kepadanya dengan cara yang baik. Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Siapa yang melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih,” (QS. Al-Baqarah: 178).