Menjadi Ibu Generasi Gemilang
Generasi yang hebat lahir dari peradaban yang hebat. Tercatat dengan tinta emas sepanjang sejarah Islam berlangsung selama 14 abad lamanya. Islam telah melahirkan banyak orang hebat. Para khalifah yang menjadi perisai dan pemimpin terbaik umat saat itu. Para pejuang yang rela mengorban jiwa dan raganya demi kemenangan Islam di medan jihad. Para ulama yang berjuang dengan lisan dan penanya hingga Islam sampai kepada kita.
Tentunya di balik mereka yang hebat, ada sosok yang tak kalah hebatnya. Walau mungkin namanya tak terukir oleh tinta emas sejarah dunia. Namun, namanya wangi semerbak, segemilang prestasi anak-anaknya di sepanjang sejarah dunia. Anak-anak yang mereka lahirkan dan mereka bentuk dengan mencurahkan segala kasih sayang, pikiran dan tenaga. Merekalah ibu teladan sepanjang zaman.
Ibu generasi gemilang yang mencetak anak-anak mereka dengan cetakkan Islam. Di mana tauhid menjadi landasan, ketundukan dan ketaatan kepada Allah Ta’ala sebagai pilar, rida Allah Ta’ala sebagai puncak dari energi, keberanian, motivasi dan semangat dalam tiap perjuangan kehidupan. Merekalah para ibu tangguh. Merekalah para ibu cemerlang yang mengajarkan Islam secara fundamental.
Ibu Generasi Emas
Marilah kita kembali melihat. Bagaimana cara para ibu tangguh ini mencetak generasi emas di masa lalu. Al-Khansa’ binti Amru, dijuluki sebagai ” Ibu Para Syuhada”. Ia merupakan contoh ibu tangguh yang berhasil menjadi madrasah bagi anak-anaknya. Keempat anak laki-lakinya syahid secara bersamaan di perang melawan Persia. Mereka berperang dengan gagah berani berkat motivasi dan semangat luar biasa dari ibunya.
Sang ibu berwasiat, “Wahai anak-anakku, sesungguhnya kalian memeluk agama ini tanpa paksaan dan berhijrah dengan kehendak sendiri. Demi Allah, yang tiada Tuhan selain Dia. Sesungguhnya, kalian adalah putra-putra dari seorang lelaki dan dari seorang perempuan yang sama. Jika kalian melihat perang di jalan-Nya, singsingkanlah lengan baju kalian dan berangkatlah. Majulah hingga barisan depan, niscaya engkau akan mendapatkan pahala di akhirat, tepatnya di negeri keabadian. Berangkatlah kalian dan bertempurlah hingga syahid menjemput kalian.”
Peperangan pun usai, Al-Khansa’ mencari kabar tentang keempat putranya. Kabar syahid keempat putranya pun sampai ke telinganya. Dengan ikhlas ia berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memuliakanku dengan kematian mereka. Aku berharap Rabb-ku mengumpulkanku bersama mereka dalam kasih sayang-Nya.”
Di masa Kekhilafahan Abbasiyyah, adalah Khairuzan, ibu Khalifah Harun Al-Rasyid, seorang mantan budak yang cerdas dan luas ilmunya. Ia dinikahi oleh Khalifah Al-Mahdi karena kecerdasannya tersebut. Ketika menjadi seorang ibu, ia rela mendampingi anaknya mencari ilmu ke Madinah. Ia simpan rasa rindu kepada keluarganya rapat-rapat. Ia tahan kehidupan mewah sebagai istri khalifah semata-mata demi sang anak. Semua itu ia lakukan untuk mendidik dan menyiapkan anaknya hingga layak menjadi khalifah.
Tak jauh berbeda dengan Huma Hatun, ibu Sultan Muhammad Al-Fatih, Sang Penakluk Konstantinopel. Ia tak henti mendidik dan memberi motivasi kepada anaknya. Setelah shalat Shubuh, ia mengajari anaknya tentang geografi, mengenalkan Muhammad Al-Fatih kecil setiap garis batas wilayah Konstantinopel. Ia tanamkan keyakinan dan semangat dalam diri anaknya, bahwa kelak ia yang akan menaklukkan Konstantinopel, sebagaimana bisyarah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam. Dan benar saja, ia berhasil memimpin pasukan untuk menaklukkan Konstantinopel, ketika ia berumur 21 tahun.
Kehebatan para imam mazhab pun tak terlepas dari kehebatan para ibunya. Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hanbal merupakan anak-anak yatim yang dibesarkan oleh ibu yang tangguh. Begitu pula perawi hadis terbesar Imam Bukhari. Ibu mereka sangat berjuang keras mendidik dan mengantarkan mereka kepada para ulama besar untuk belajar. Bahkan mereka mewakafkan anak-anaknya untuk Islam.