Menuntaskan Konflik Agraria
Konflik agraria makin panas akhir-akhir ini. Belum usai kasus Rempang, muncul kasus pembakaran Kantor Bupati Pohuwato, Gorontalo yang diamuk massa. Pembakaran tersebut imbas unjuk rasa menuntut ganti rugi lahan yang belum juga terealisasi ke sebuah perusahan tambang emas.
Terbaru, satu orang tewas tertembak peluru aparat kepolisian dalam aksi damai menuntut tanah plasma dari perusahaan perkebunan sawit, PT Hamparan Masawit Bangun Persada I (PT HMBP I). Peristiwa tersebut terjadi di Desa Bangkal, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah pada Sabtu, 7 Oktober 2023. (Suara.com, 08/10/2023).
Konflik agraria yang memanas makin menambah buruk hubungan rakyat dengan penguasa. Ya, rakyat kerap kali kena gusur dari tanahnya dengan dalih pembangunan. Penggusuran ini pun sering memunculkan bentrok dan ricuh antara aparat dan rakyat sehingga tidak sedikit rakyat yang luka-luka bahkan tewas karena ulah represif aparat.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, mengungkapkan memasuki tahun ke-9 pemerintahan Presiden Joko Widodo, KPA mencatat dalam kurun waktu sejak 2015 sampai dengan 2022 telah terjadi 2.710 konflik agraria yang berdampak pada 5,8 juta hektar tanah dengan korban terdampak mencapai 1,7 juta keluarga di seluruh wilayah Indonesia.
Data KPA pun menyebutkan ada 1.615 orang yang ditangkap dan dikriminalisasi karena mempertahankan hak atas tanahnya, sedangkan 77 orang menjadi korban penembakan bahkan 69 orang harus kehilangan nyawa, karena aparat masih dimobilisasi di wilayah-wilayah konflik agraria.
Mirisnya, konflik agraria ini terjadi di seluruh sektor. Mulai dari perkebunan, kehutanan, pertanian korporasi, pertambangan, pembangunan infrastruktur, pengembangan properti, kawasan pesisir, lautan, serta pulau-pulau kecil. (cnnindonesia.com, 24/09/2023).
Konflik agraria yang memanas membuktikan bahwa negara tidak hanya gagal dalam membela dan melindungi kemaslahatan rakyat, tetapi juga menunjukkan bahwa negara tak ubahnya penyedia karpet merah bagi para pemilik modal. Dengan dalih investasi untuk pembangunan negeri, perampasan hak tanah dan penggusuran warga menjadi pembenaran bagi tuan penguasa untuk mengakomodasi kepentingan oligarki kapital.
Makin tampak bahwa dalam naungan sistem kapitalisme, penguasa hanya sekadar berperan sebagai fasilitator dan regulator saja. Penguasa sebagai pelindung rakyat nyata hanya pepesan kosong belaka. Faktanya, penguasa justru menjadi pelindung bagi kepentingan oligarki kapital yang menggarong hak dan tanah rakyat.
Di sisi lain, dalam paradigma kapitalisme, kepemilikan tanah bergantung pada selembar sertifikat yang kerap membuat rakyat awam tak berdaya. Sebab, kepemilikan tanah yang ditinggali secara turun-temurun dan beratus-ratus tahun dapat diklaim menjadi milik negara karena tidak bersertifikat. Ironisnya, alih-alih mengedukasi dan mengakomodasi rakyat untuk memiliki sertifikat, tuan penguasa justru mengeluarkan selembar kebijakan untuk merampas tanah rakyat secara legal demi oligarki kapital.
Inilah derita rakyat dalam naungan kapitalisme. Rakyat menjadi objek eksploitasi bagi tuan penguasa dan pemilik modal. Tiada pembela. Tiada pelindung. Hanya bermodal darah, jiwa, dan raga untuk mempertahankan haknya. Terjajah dan teraniaya di negerinya sendiri. Keadilan pun hanya utopia belaka.
Konflik agraria niscaya tidak akan muncul, andai sistem Islam mengatur negeri ini. Paradigma Islam memandang bahwa alam semesta dan seluruh isinya merupakan milik Allah SWT, sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah Al-Hadid ayat 2, “Kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” Ini berarti, sejatinya pemilik bumi dan isinya, termasuk tanah, adalah Allah SWT. Allah SWT-lah yang memberikan kekuasaan kepada manusia untuk mengelolanya dengan berdasarkan syariah-Nya, bukan dengan aturan lainnya.
Berdasarkan aturan Islam, kepemilikan tanah dapat diperoleh dengan enam cara, yaitu (1) jual beli, (2) waris, (3) hibah, (4) menghidupkan tanah mati, (5) membuat batas pada tanah mati, dan (6) pemberian negara kepada rakyat. Alhasil, setiap individu rakyat dapat memiliki tanah dengan cara mengelola tanah mati, yakni tanah tak bertuan dan tak berpemilik.