OPINI

Menyoal Iuran Dana Pensiun Tambahan

Pemerintah dikabarkan tengah menggodok peraturan baru terkait dana pensiun tambahan wajib yang akan memotong upah pekerja. Aturan ini merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.

Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 termaktub aturan bahwa pemerintah dapat melaksanakan program pensiun tambahan yang bersifat wajib. Dalam Pasal 189 ayat 4 disebutkan bahwa program pensiun tambahan wajib ini dapat dikenakan bagi pekerja dengan penghasilan tertentu.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa peraturan pemerintah soal ini memang masih dirancang, tetapi disebutkan pula bahwa dana pensiunan wajib ini arahnya akan disalurkan melalui lembaga pengelola nonbank berupa Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK).

Menurut pengamat jaminan sosial, Timboel Siregar, ini berarti nantinya iuran dana pensiun tambahan wajib ini tidak dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan (BPJS-TK). Ia pun mengatakan bahwa jaminan pensiun yang dikelola oleh BPJS-TK saja belum maksimal dilaksanakan, pemerintah malah memunculkan program baru yang bersifat wajib. (BBC.com, 09/09/2024).

Sudah jatuh tertimpa tangga berulang kali. Itulah gambaran para pekerja saat ini. Kebijakan Tapera masih terasa menyesakkan dada. Kenaikan upah yang tak sanggup mengejar laju inflasi masih membuat frustasi. Badai PHK yang terus mengintai. Beragam masalah jaringan pengaman sosial yang membuat letih. Kini, kehidupan rakyat makin perih ditambah iuran dana pensiun tambahan yang bersifat wajib.

Pemerintah seolah tidak memberi napas kepada para pekerja, karena terus dikejar beragam beban hidup yang makin berat. Sungguh tega, alih-alih dibuat sejahtera, rakyat justru dibuat makin sengsara. Saat muda, katanya demi menggerakkan ekonomi negara, tenaganya dieksploitasi tak tersisa. Sementara saat tua, negara mendadak lupa menjamin kebutuhan dasar hidupnya.

Ya, rakyat justru dibuat tak berdaya, demi jaminan hari tua yang diimpikan, pundaknya menanggung segunung pajak dan iuran. Iya, kalau memang apa yang ditanam kelak dapat dituai, bagaimana jika malah dikorupsi?

Inilah nasib getir para pekerja dalam rimba kapitalisme. Sayang disayang, ternyata nasibnya kian malang. Katanya, menjadi penggerak roda perekonomian. Faktanya, digilas roda kesengsaraan akibat kebijakan yang makin zalim.

Segunung iuran dan pajak yang dibebankan kepada rakyat, sejatinya tidak terlepas dari sistem kapitalisme yang bercokol di atas negeri ini. Sistem ini menaruh perhatian istimewa pada para pemilik modal secara terang-terangan. Sebaliknya, menjadikan rakyat sebagai objek yang terus-terusan diperas darah dan keringatnya.

Ya, paradigma kapitalisme memandang bahwa negara merupakan fasilitator dan regulator bagi kepentingan oligarki kapital. Tidak heran, jika kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat dinomorduakan, termasuk jaminan kesejahteraan para pekerja pada hari tua.

Paradigma ini sungguh kontras dengan paradigma Islam. Dalam pandangan paradigma, negara merupakan pengurus dan pelindung bagi rakyat. Maka menjadi kewajiban negara untuk bertanggung jawab memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Hal ini sejalan dengan sabda Baginda Nabi Muhammad Saw, “Imam adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. al-Bukhari).

Jaminan hari tua (JHT) sebagaimana yang dikenal dalam sistem kapitalisme ini, jelas tidak dikenal dalam naungan sistem Islam. Sebab, memang menjadi kewajiban penguasa untuk menjamin kebutuhan dasar rakyat, meliputi sandang, papan, pangan, termasuk kebutuhan dasar publik seperti akses pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Jaminan ini tidak hanya diberikan pada segelintir orang, tetapi juga pada seluruh rakyat, baik kaya maupun miskin, Muslim maupun non-Muslim.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button