OPINI

HAM Indonesia: Jangan Ada Lagi Madam Bansos, Jenderal Drakula, Boneka Solo, dan sebagainya

Sekitar 40 tahun lalu, di lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) diperkenalkan teori tentang tahapan-tahapan hak asasi manusia (HAM) yang seharusnya tertunaikan di seluruh dunia. Teori itu disebut “three generations human rights”. Yaitu, HAM tiga tahap (generasi).

Yang paling dasar (first generation atau tahap pertama) yang disebut juga “negative rights” (disederhanakan menjadi “hak larangan”-red) adalah hak-hak yang sifatnya melarang pemerintah melakukan tindakan yang mencederai (melukai) warga negaranya. Ini termasuklah bebas dari penyiksaan dan pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killing).

Hak asasi level berikutnya disebut “second generation” (tahap kedua). Disebut pula sebagai “positive rights”. Yaitu, hak-hak yang sifatnya mengharuskan pemerintah menyediakan manfaat (benefit) sosial-ekonomi tertentu bagi warga negaranya. Termasuklah layanan kesehatan dan lingkungan kerja yang baik.

Seterusnya, hak asasi level disebit “third generation” (tahap ketiga). Ini disebut “solidarity rights” yang mewajibkan pemerintah menghormati hak-hak rakyat secara kolektif, seperti hak pembangunan (fisik dan kapasitas), hak atas lingkungan bersih, hak atas ketenteraman (perdamaian), dlsb.

Nah, di tahap mana HAM Indonesia? Tentu sangat jelas nasib rakyat ini kalau diacu ke konsep HAM tiga tahap itu. Cukup Anda tuliskan saja pertanyaan-pertanyaan ini.

Pertama, apakah warga negara Indonesia sudah terbebas dari penyiksaan fisik dan pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killing)? Jawabannya: BELUM huruf kapital. Capek kita meriset angka-angka tentang ini. Yang jelas, sejak masa kampanye Pilpres 2019 hingga pembunuhan 6 pemuda Front pada 7 Desember 2020, bisa disimpulkan bahwa di tahap pertama saja HAM rakyat Indonesia belum tertunaikan.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button