OASE

Merdeka dalam Relasi: Membangun Ruang Cinta Kasih tanpa Pamrih

Agustus selalu datang dengan riuh sorak kemerdekaan. Bendera merah putih berkibar di setiap sudut jalan, lagu-lagu perjuangan mengudara, dan semangat kebangsaan terasa menghangatkan hati putra dan putri bangsa.

Namun di tengah semua itu, ada pertanyaan yang jarang kita ajukan pada diri sendiri, “Apakah kita sudah benar-benar merdeka, bukan hanya di atas kertas sebagai sebuah bangsa, tetapi juga di dalam hati sebagai manusia?”

Sebab kemerdekaan sejati tidak berhenti pada bebasnya tanah air dari penjajahan fisik. Ada bentuk “penjajahan” lain yang lebih halus tetapi sering membelenggu. Ya, ketika hati dan pikiran terikat oleh pamrih, ego, atau rasa sungkan yang berlebihan. Penjajahan ini tidak datang dari negeri asing, melainkan dari cara kita menjalani hubungan dengan sesama, terutama dalam urusan memberi dan menerima.

“Dalam rangka apa dulu nih?”

Kalimat yang hampir selalu keluar dari seorang anak manusia setiap kali ia menerima hadiah. Bukan karena ia menolak, melainkan karena ia percaya bahwa sebuah pemberian haruslah lahir dari ketulusan, bukan dari perhitungan untung ataupun rugi. Baginya, memberi adalah bahasa hati, bukan alat tukar. Menerima pun seharusnya bebas dari beban “utang budi”.

Sayangnya, banyak hubungan terjebak dalam pola transaksi. Ada syarat tidak tertulis yang mengiringi, jika menerima, maka harus membalas. Hubungan yang seharusnya menjadi ruang nyaman, berubah menjadi ladang hitung-hitungan. Relasi pun kehilangan esensinya. Allah Swt., menegaskan prinsip ketulusan dalam memberi melalui firman-Nya:

“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan, (sambil berkata), ‘Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharap keridaan Allah. Kami tidak menghendaki balasan darimu dan tidak pula (ucapan) terima kasih’.” (QS. Al-Insan: 8-9).

Ayat ini mengajarkan bahwa memberi seharusnya lepas dari kepentingan duniawi, murni mengharap ridha Sang Ilahi. Memberi dengan pamrih ibarat menaruh rantai di leher orang yang dibantu. Bukan membebaskan, justru membebani.Rasulullah Saw., pun bersabda: “Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis ini bukan sekadar mengajak untuk menjadi pemberi, tetapi juga mengingatkan bahwa dalam memberi ada kemuliaan, dan dalam menerima pun harus ada kemerdekaan dari rasa terikat.

Kemerdekaan dalam hubungan antarmanusia berarti membersihkan relasi dari motif tersembunyi, dari prasangka, dan dari kewajiban membalas yang menekan hati. Hubungan yang sehat memuliakan ketulusan, bukan mengkomersialisasi perhatian.

Setiap manusia merasa paling bahagia ketika menerima hadiah yang lahir dari hati. Mereka menerimanya dengan tulus, tanpa perhitungan balas jasa, karena mereka tahu bahwa cinta kasih yang murni adalah pemberian paling berharga. Di situlah letak kemerdekaan sejati: bebas untuk memberi, bebas untuk menerima, dan bebas untuk mencintai tanpa syarat.

Maka, di tengah peringatan kemerdekaan bangsa, marilah kita juga merayakan kemerdekaan hati. Sebab, bangsa yang merdeka akan semakin kuat jika di dalamnya tumbuh manusia-manusia yang merdeka dalam memberi, merdeka dalam menerima, dan merdeka dalam mencintai. Ya, dengan hati yang lapang, tulus, dan tanpa pamrih.[]

Husnul Khotimah

Artikel Terkait

BACA JUGA
Close
Back to top button