Merdeka dari Oligarki
77 tahun Republik ini telah merdeka, tetapi siapa nyana kemudian ada yang melekat di dalamnya “benalu” dan “racun” parasitisme oligarki.
Kemerdekaan itu berpikir besar tentang kebebasan setiap warga negara untuk mendapatkan hak keadilan dan kemakmuran, seluruhnya sebagai cita-cita dan harapan kebangsaan dari Sabang ke Merauke sebagaimana tersirat dan tersurat di dalam UUD 1945 dan Pancasila.
Sebaliknya, oligarki itu berpikir kecil, sempit dan elitisme feodal dari dan untuk kepentingan hanya segelintir orang, tetapi karenanya negara dan bangsa ini jadi bisa “terjajah” kembali seperti di jaman kolonialisasi terdahulu yang sungguh tak terperi penderitaan dan pengorbanannya.
Akibat membuncahnya kooptasi kerakusan dan keserakahan baru di era digitalisasi ini tanpa ada batas “masifnya sistem dan struktural”, apalagi batasan “etika dan moral” sosial dari mereka: ntah oligarki itu hanya sekumpulan orang, kelompok, organisasi dan atau lembaga dikarenakan memiliki akses dan entitas kekuasaan luar biasa luas dan kuat secara politik, ekonomi, hukum dan keamanan: cara lazimnya bersekongkol dengan rezim penguasa, atau juga justru bisa sebaliknya.
Yang jelas, nyaris satu dekade kekuasaan rezim penguasa Jokowi ternyata semakin disadari menjadi kompos dan tanah media tanam bagi tumbuh sangat suburnya oligarki itu.
Dimulai jejaring oligarki politik itu tumbuh subur bertunas ketika Jokowi memenangi Pilpres untuk menjabat periode kedua.
Tidak saja terbentuknya oligarki partai-partai yang kemudian bisa membungkam nyaris 82% suara parlemen di DPR dan MPR dengan bergabungnya pula Gerindra. Perilaku, watak dan karakter politik oligarki itu juga kemudian merambah bak suburnya kecambah sampai-sampai ke lembaga-lembaga tinggi peradilan dan hukum negara lainnya, seperti: MA, Jaksa Agung, moncong dan corong kinerjanya berporos “manut lan nurut” dikomandoi istana.
Terlebih, Makhamah Konstitusi, adalah jelas-jelas lembaga oligarki hukum sesungguhnya. Hanya dianggotai sembilan hakim tinggi, tetapi hingga kini “kekuasaan hukumnya” masih dan mampu menyandera upaya-upaya urgensi maksimal demi kepentingan perikehidupan kebangsaan yang lebih besar, yaitu pemulihan demokrasi caranya tak mengurai ikatan yang menjerat dan memasung kehidupan politik negara ini dengan Preshold 20%.
Belum lagi MK ini sebagai produsen oligarki hukum yang diselewengkan dan diselundupkan yang judicial review-nya tanpa proses dialogis akademis, aspirasi dan transparasi. Jadilah, produk-produk hukum pincang dan sungsang, seperti UU Omnibuslaw, UU KPK, UU BRIN, UU IKN dan UU KUHP hanya mengikuti selera yang dikehendaki rezim penguasa oligarki yang memang hanya untuk kepentingan oligarki korporasi konglomerasi yang di belakangnya telah menungganginya.
Lihatlah, hingga kabinet pun menjadi sarang utama konspirasi bisnis ekonomi oligarki korporasi konglomerasi. Oknum pejabat menteri berpredikat “penguasa-pengusaha” menjadi pelicin legitimasi “vested interested” sembunyi-sembunyi oligarki korporasi konglomerasi itu dengan negara. Dampak parahnya telah merusak azas dan landasan struktur ekonomi bangsa, tidak saja ekonomi semakin kapitalisme liberal, sehingga demokrasi ekonomi Pancasila semakin menghilang, hanya menjadi teori angan-angan utopis belaka.
Faktualisasinya, itu terbukti di kasus modus minyak goreng, salah satu produk penting dari sembilan kebutuhan bahan pokok (sembako) rakyat. Praktis minyak goreng sudah “milik” oligarki, bukan lagi dipunyai dan dilindungi pemerintah, makanya tiada lagi pengaturan dan pengendalian harga lagi dari pemerintah.