RESONANSI

Merdeka dari Oligarki

Karenanya sudah setahun “permanen” harga minyak goreng naik melambung, tak pernah turun lagi. Pemerintah yang sudah salah langkah dari awal “jor-joran” membuka izin HGU lahan usaha kelapa sawit kepada produsen oligarki korporasi minyak goreng itu, tetapi ternyata itu hanya menjadi ajang korupsi atas “biaya izin” itu oleh oknum pejabat negara.

Sesaat kemudian tiba-tiba minyak goreng itu menghilang di pasaran, sehingga ketiadaan pasokan minyak goreng di dalam negeri itu memicu kenaikan harga. Biang keroknya sudah pasti oligarki korporasi yang melakukan jor-joran ekspor CPO alasannya karena tingkat harga di pasar global lebih tinggi dari pada di dalam negeri hingga alasannya terus merugi.

Pemerintah kemudian menetapkan kebijakan ekspor CPO itu dihentikan karena tak terkendali dan merusak pasokan kebutuhan di dalam negeri itu. Siapa nyana, ketika kemudian kebijakan kran ekspor dibuka lagi, tetap saja harga minyak goreng itu masih dan tetap melambung tinggi. Bahkan, korban baru, selain rakyat, sekarang justru bertambah yaitu para komunitas petani sawit yang begitu anjlok harga jual buah kepala sawitnya dikarenakan dianggap telah banjir pasokan di hulu di mana komunitas para petani sawit itu berkonstribusi sebagai pemasok padahal bukan yang utama pula.

Jadi, oligarki korporasi produsen minyak gorenglah yang diuntungkan dua kali bak mendapat durian runtuh saat penyesuaian harga global ekspor, juga ditambah melambungnya harga domestik minyak goreng yang kini dijuluki “minyak goreng oligarki” yang harganya sudah tak terjangkau lagi oleh rakyat kebanyakan. Bahkan, rakyat kecil dan miskin di pinggiran hanya “terbeli” dengan kebagian “minyak goreng curah” yang ntahlah secara mutu dan mutual status sehat atau tidaknya sengaja diabaikan dan terabaikan.

Meski kondisinya sedemikian, sudah pasti ambigu harga minyak goreng itu telah menjadi alat pengungkit memicu pula kenaikan harga-harga sembako lainnya, yang paling dikuatirkan kenaikan harga sembako itu juga menjadi permanen dalam jangka waktu yang lama, maka kelak nanti pun akan muncul istilah “sembako oligarki”, boleh jadi dikarenakan merekalah sekarang pengendali dan pengatur harga mekanisme pasar, pemerintah telah kalah dan menyerah, abai dan tak peduli lagi rakyat. Pertanyaannya, apakah negeri kita masih disebut merdeka jika sehingga sembako pun sudah mulai dikuasai oleh oligarki? Yang harganya pasti akan melambung tinggi karena ditentukan oleh mekanisme pasar sistem kapitalisme liberal?

Yang lebih sadis dan gila lagi bagi perikehidupan bangsa ini, baru-baru ini terungkap pula kasus dari modus praktik “kejahatan terselubung” yang justru itu terjadi dari adanya oligarki di bidang pelayanan keamanan dan pengamanan masyarakat di tubuh Polri.

Oligarki itu nyata adanya berupa bentukan organisasi organik satgasus non struktural Merah Putih yang patut diduga telah diselewengkan peranannya oleh oknum pejabat perwira tinggi Polri: justru sebagai mesin alat “pengeruk dan pengeduk” dana kompensasi atas “kejahatan bisnis hitam dan ilegal”, seperti koneksitas dengan jaringan bisnis peredaran narkoba dan miras, perjudian manual, on line dan digital, penyelundupan barang-barang ilegal, prostitusi dan traficking dsb bahkan hingga operasional yang sengaja distigmatisasi sebagai “bentuk kejahatan politik” yang diduga menstimulasi rongrongan kepada proses “menjatuhkan dan kejatuhan” rezim penguasa: penangkapan aktivis oposisi politik, para ulama, kiai dan habaib.

Pertanyaannya sekarang, jika di tubuh Polri sebagai garda pelayanan keamanan dan pengamanan masyarakat itu sudah dikuasai oleh oligarki alias organisasi segelintir orang yang mengatasnamakan satgasus merah putih telah merusak bangsa ini melakukan anomali moral bekerjasama sinergi dengan kejahatan dunia hitam —yang sesungguhnya menjadi musuh yang seharusnya diberantasnya, lantas pertanyaan berikutnya di akhir tulisan ini siapa lagi dari lembaga-lembaga tinggi dan formal negara di bidang politik, ekonomi , hukum dan keamanan itu yang bisa dipercaya lagi oleh rakyat? Yang sesungguhnya sudah cenderung dikuasai oleh kekuatan “vested interested” yang tak lain dan tak bukan adalah praktik konspiratif dan koruptif sang oligarki?

Boleh jadi keniscayaannya Tuhan Yang Maha Esa masih menyayangi dan mengasihi atas negeri Republik Indonesia ini, dengan menguak tabir kotak pandoranya dengan kasus pembunuhan Brigadir Joshua yang dilakukan oleh Ferdi Sambo cs yang kebetulan menjabat pula sebagai ketua satgasus Merah Putih itu. Tapi perspektif dari refleksi dari kejadian peristiwa ini, adalah munculnya kesadaran bahwa ikhtiar politiknya dari bangsa ini untuk keluar dan menyelamatkan bangsa ini dari kekuasaan kejahatan konspiratif oligarki politik, ekonomi, hukum, dan keamanan ini, adalah adanya event besar demokrasi kerakyatan, yaitu peralihan dan pergantian kepemimpinan negara dan bangsa yang akan diselenggarakan beberapa bukan lagi ke depan.

Dan jawabannya adalah pilihlah calon pemimpin dan kepemimpinan yang seharusnyalah wajib dan mutlak anti oligarki —yang mana kekuatan untuk mempertahankan kekuasaan oligarki pun berdaya sangat super power dengan tanpa batas menggunakan money politic, siapa yang akan mampu membendungnya?

Itulah pilihannya makna dan nilai “kemerdekaan” kita yang ke-77 sekarang tengah dihadapkan ambiguisitas antara “merdeka tanpa uang” dan atau “merdeka dengan bergelimang uang”? Itu gegara di negara kita telah ada melekat oligarki!! Wallahu a’lam Bishawab.

Mustikasari Bekas, 15 Agustus 2022

Dairy Sudarman, Pemerhati politik dan kebangsaan.

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button