Merenungi Al-Qur’an (1)
Pagi ini saya mencoba merenungkan ayat Al-Qur’an kedua surat Al Baqarah.
‘Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa”.
Di sini ada kata yg penting, yaitu tidak ada keraguan padanya. Kenapa ini penting? Karena sekarang berkembang filsafat skeptisisme atau relativisme. Semua hal diragukan. Tidak ada kebenaran abadi, menurut mereka. Hari ini benar, besok bisa salah. Hari ini salah, besok bisa benar.
Mereka meragukan semua hal. Tuhan, akhirat, kitab suci, agama dan lain-lain. Penulis punya pengalaman punya kawan dari Jakarta yang sering ngaji di Paramadina sewaktu mahasiswa. Ketika saya ngobrol dengannya, apa sih agama itu, katanya sambil merokok. Padahal waktu itu bulan Ramadhan. Waktu itu, pendiri Paramadina Nurcholish Madjid sedang gencar gencarnya melontarkan ide pluralisme agama.
Kita juga bisa mengamati mahasiswa mahasiswa S1 program filsafat. Banyak diantara mereka berambut gondrong, celana bolong dll. Kita perhatikan mereka seperti kehilangan pegangan hidup.
Memang orang yang memegang teguh filsafat Barat akan kebingungan sendiri. Karena filsafat mereka tidak punya dasar yang kokoh. Dasar mereka adalah rasio. Rasio sering dibantah dengan rasio berikutnya.
Maka jangan heran banyak tokoh filsafat Barat yang hidupnya amburadul. Berganti ganti perempuan tanpa pernikahan, bingung dalam hidup dan kadang bunuh diri. Yang terakhir ini dianggap biasa oleh mereka. Bahkan kadang ditafsirkan bahwa daripada hidup tidak bermakna atau hidup di bawah penguasa bengis lebih baik bunuh diri.
Islam mempunyai filsafat kepastian, tidak ragu-ragu. Bila Al-Qur’an mengharamkan sesuatu kita meninggalkannya, bila memerintahkan sesuatu kita mengerjakannya. Kita tidak ragu. Karena kita telah membuktikan bahwa Al-Qur’an bukan ciptaan manusia tapi Kalamullah.
Meski demikian, Al-Qur’an membuka ijtihad selebar lebarnya dalam banyak hal yang teknis menyangkut kemaslahatan manusia. Akal digunakan untuk memahami Nash Al-Qur’an dan menggali seluas luasnya berbagai fenomena dunia. Baik fenomena yg masuk dalam rumpun ilmu alam maupun ilmu sosial.
Yang menarik juga kata menjadi petunjuk bagi orang yang bertakwa. Al-Qur’an tidak bisa menjadi petunjuk orang yang fasik, zalim, munafik, dan kafir. Keempat orang ini banyak melakukan dosa besar dan banyak muncul penyakit di hatinya. Sehingga bil ayat ayat Allah diperdengarkan atau dilihatnya ia tidak tersentuh. Ia meragukannya atau menolaknya.
Tapi bisa saja keempat orang itu tobat. Ketika dirinya merasa salah dan ingin perbaikan, bisa saja cahaya Allah akan datang kepadanya. Hingga ia kemudian kembali ke jalan yang benar (jalan Al-Qur’an).
Orang yang bertakwa menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk. Ia merasa kangen kalau sehari tidak bersentuhan dengan Al-Qur’an. Ia menganggap Al-Qur’an adalah cahaya yang menentramkan akal dan hatinya.