Merenungi Al-Qur’an (10)
Ayat berikutnya (ayat 23) berbicara tentang pedoman yang harus dipegang manusia dalam hidup ini agar hidupnya bahagia dunia dan akhirat. Agar manusia dalam hidup ini saling berkasih sayang atau tolong menolong. Agar manusia dalam hidup ini dapat bekerjasama untuk memakmurkan bumi.
Pedoman itu bernama Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw pada sekitar 610 M. Al-Qur’an turun sekitar 23 tahun lamanya. Satu persatu ayat atau surat diturunkan kepada Nabi, sesuai dengan masalah atau tantangan yang dihadapi. Susunan katanya bermakna mendalam dan indah. Para ahli Bahasa Arab menyebut sastranya sangat indah. Mereka yang mengkaji Al-Qur’an dengan serius, akan menjadi ahli bahasa atau sastra. Bandingkan dengan mereka yang mengkaji serius Bibel. Ia tidak akan menjadi ahli sastra, malah akan kebingungan, karena banyak pertentangan ayat di dalamnya.
Prof Amien Rais, mantan Ketua Umum Muhammadiyah -ahli beberapa bahasa- menyebut bahwa mereka yang menguasai Bahasa Arab (fushah), seperti berada di puncak bukit. Belajar bahasa asing lain lebih ringan, seperti menuruni bukit.
Di dunia ini setiap hari selalu ada yang membaca Al-Qur’an. Al-Qur’an dibaca oleh keluarga Muslim di rumah-rumah, di masjid/mushalla, di kantor, di taman, bahkan kadang di kendaraan. Membaca Al-Qur’an, baik tahu artinya atau tidak, dapat pahala. Tentu bila paham maknanya pahalanya akan lebih besar lagi. Bandingkan dengan Bibel atau ‘kitab suci’ agama-agama lain yang hanya dibaca seminggu sekali atau ‘hanya boleh dibaca atau dipelajari oleh orang-orang tertentu’ (Kaum Brahmana).
Al Alusi, ulama besar Baghdad yang terkenal ketinggian ilmu dan akhlaknya menyatakan bahwa ia sudah tertarik dengan tafsir Al-Qur’an sejak usia dini. Pada pengantar tafsirnya ia bercerita, ”Sejak menanggalkan baju kanak-kanakku dan mengenakan serbanku, tidak henti-hentinya aku berusaha mengungkapkan rahasia Al-Qur’an yang tersembunyi, berharap untuk dapat mereguk minuman surgawi dari pinggan yang terpatri. Betapa seringnya kutinggalkan tidurku, untuk mengumpulkan keistimewaannya. Betapa lamanya aku menjauhi kaumku untuk mendapatkan mutiaranya. Sekiranya kaulihat aku waktu itu, aku sentuhkan dahiku pada lembaran-lembaran Al-Qur’an karena tidak tidur malam, kupandangi -kala lilin meredup- cahaya rembulan, pada kebanyakan malam-malamku. Pada waktu itu, kawan-kawan remajaku sedang bergembira dalam lapangan permainan, bersukaria dalam berbagai hiburan, mendahulukan kesenangan seksual di atas kelezatan spiritual, membuang yang paling berharga dari waktu, hanya untuk memuaskan hawa nafsu. Dengan segala kemudaan usiaku dan kesempitan pandanganku, keadaan mereka tidak mengelabuiku, perilaku mereka tidak menggodaku…Akhirnya sampailah aku pada kebanyakan hakikatnya. Aku berhasil mengurai limpahan Pernik-perniknya. Aku tembus -segala puji bagi Allah- mutiaranya dengan pena pikiranku, sebelum usiaku mencapai dua puluh tahun.”
Ulama mufasir dari Mesir, Sayid Rasyid Ridha berkisah, ”Sebelum menyibukkan diri dalam mencari ilmu di Tripoli, Syam, aku sibukkan diriku dalam ibadah yang berkecenderungan kea rah tasawuf. Aku bertekad untuk membaca Al-Qur’an dengan maksud untuk mengambil pelajarannya agar cinta kepada akhirat dan zuhud pada dunia. Ketika aku merasa sudah layak untuk memberikan manfaat kepada manusia dari ilmu yang aku peroleh, aku duduk dihadapan orang banyak mengadakan pengajian di negeri kami. Aku nasihati mereka dengan Al-Qur’an, dengan lebih mengutamakan ancaman daripada dorongan, takut daripada harapan, peringatan daripada kabar gembira, zuhud pada dunia…” (Lihat Jalaluddin Rahmat, Tafsir Sufi al Fatihah, Rosdakarya, 1999)
Sayid Qutb dalam pengantar tafsirnya Fi Zhilalil Qur’an menyatakan, ”Hidup di bawah naungan Al-Qur’an merupakan suatu kenikmatan. Kenikmatan yang hanya bisa dirasakan oleh orang yang pernah mereguknya. Kenikmatan yang mengangkat, memberkati dan mensucikan umur kehidupan.
Segala puji bagi Allah yang telah mengaruniaku kehidupan di bawah naungan Al-Qur’an beberapa kurun waktu. Pada saat-saat itulah aku telah mereguk kenikmatan hidup di bawah naungan Al-Qur’an, suatu kenikmatan yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Saya merasakan betapa kenikmatan yang telah meningkatkan, memberkati dan mensucikan kehidupan itu.
Saya hidup mendengarkan Allah -Mahasuci Dia- berbicara kepadaku dengan Al-Qur’an ini, meski aku adalah seorang hamba yang kecil dan kerdil…Kemuliaan apakah yang dapat menandingi kemuliaan yang dilimpahkan oleh Tuhan Yang Maha Tinggi lagi Maha Mulia ini? Adakah peningkatan martabat kehidupan yang lebih baik dari apa yang ditingkatkan oleh Al-Qur’an ini? Adakan kedudukan (maqam) manusia yang lebih utama ketimbang kedudukan yang telah dianugerahkan Tuhan Penciptanya yang Maha Mulia?
Saya hidup -di bawah naungan Al-Qur’an- memandang dari atas kea rah jahiliyah yang bergejolak di muka bumi dan berbagai pusat perhatian orang-orang jahiliyah yang remeh temeh. Saya melihat kekaguman orang-orang jahiliyah itu tertuju pada pengetahuan yang tak lebih dari pengetahuan kanak-kanak, persepsi balita, dan perhatian anak-anak kecil. Tak ubahnya orang dewasa menyaksikan permainan dan senda gurau anak-anak. Saya heran, mengapa manusia sampai demikian? Mengapa mereka mau menistakan diri dalam kehidupan yang rendah dan tidak mau mendengarkan seruan yang tinggi lagi mulia, seruan yang meningkatkan, memberkati dan menyucikan kehidupan?
Saya hidup -di bawah naungan Al-Qur’an- dengan mencermati dan menikmati konsep tentang wujud yang demikian sempurna, lengkap, tinggi dan jernih…tentang tujuan semua wujud, tujuan eksistensi manusia. Saya bandingkan dengan berbagai konsepsi jahiliyah yang dijalani manusia baik di Timur, Barat, Utara ataupun Selatan… Saya bertanya, bagaimana manusia mau hidup dalam kubangan busuk, di lapisan bawah yang nista, dalam kegelapan yang amat pekat, padahal mereka memiliki ruangan yang bersih, punya tangga yang tinggi dan cahaya yang terang benderang?”
Surat-surat dalam Al-Qur’an mempunyai keutamaan sendiri-sendiri. Tentang surat al Baqarah misalnya, Imam Fakhruddin ar Razi menyatakan,”Siapa yang merenungkan susunan ‘surat-surat’ ini dan keharmonisan aturannya, dia akan menyadari bahwa mukjizat Al-Qur’an bukan hanya terletak pada kejituan (fashahah) lafal dan keagungan maknanya. Tetapi juga karena susunan dan urutan ayat-ayatnya yang indah dan harmonis. Barangkali hal inilah yang dimaksud oleh mereka yang mengatakan bahwa mukjizat Al-Qur’an itu terletak pada redaksi ayat-ayatnya. Namun saya melihat mayoritas mufasir lalai dan tidak memperhatikan rahasia keindahan susunan dan urutan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut. Nampaknya masalah ini mirip dengan perumpamaan yang diungkapkan oleh seorang pujangga,”Bintang di langit kelihatan kecil oleh pandangan mata, namun itu bukanlah kesalahan bintang, tapi matalah yang tidak mampu melihatnya benar.” (lihat Tafsir al Asas, Said Hawwa, Robbani Press, 2000)