Merindu Kemerdekaan yang Bukan Sekadar Teriakan
Setiap memasuki Agustus, bumi pertiwi diselimuti merah putih. Gelegak nasionalisme lebih terasa. Lagu kebangsaan diputar di segala penjuru negeri dan tak lupa teriakan “Merdeka” mengudara penuh energi. Sayangnya, tak banyak yang memahami arti merdeka selain hanya terbebas dari penjajahan fisik bangsa lain. Walhasil, teriak merdeka membuat banyak hati tak menyadari bahwa bangsanya masih dikangkangi penjajahan.
Banyak orang tak memahami bahwa sesungguhnya negeri ini belum memperoleh kedaulatannya yang hakiki. Betapa tidak, kekayaan alam yang melimpah ruah di negeri ini nyaris seluruhnya dikuasai tangan korporasi, baik asing maupun lokal. Swasembada pangan masih menjadi mimpi, sebab negeri ini belum mampu melepaskan diri dari ketergantungan terhadap impor. Tak hanya itu, utang luar negeri membumbung tinggi, dikabarkan jumlahnya mencapai 7000 triliun. Dan itu masih dianggap aman oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani, sebab rasionya masih 38% dari PDB saat ini. Beliau membandingkan dengan negara lain yang rasio utangnya sudah mencapai 60% bahkan 80% dari PDB. (Tempo.co, 21-06-2022)
Akhirnya, rakyat yang harus menanggungnya. Pungutan pajak di segala lini kian menggila, bahkan sejak 1 April 2022 Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dinaikkan persentasenya dari 10% menjadi 11%. Hal itu berdasarkan amanat pasal 7 undang-undang nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Lagi-lagi, Menteri Keuangan, Sri Mulyani menganggap kenaikan tersebut masih dalam kewajaran sebab negara lain ada yang menetapkan PPN mencapai 15%.
Dan yang membuat kita kian mengurut dada adalah adanya kebijakan yang justru memanjakan para korporat dan konglongmerat. Sebagai bagian dari reformasi perpajakan terkait penyesuaian tarif pajak, orang atau pribadi dengan penghasilan sampai dengan 60 juta dikurangi PPN-nya dari 15% menjadi 5%. Selain itu, pelaku UMKM dengan omzet mencapai Rp500 juta akan dibebaskan pajaknya. Terlihat kepada siapa negara ini berpihak, bukan?
Apa kabar dengan rakyat jelata, yang jangankan bisa makan dengan asupan gizi empat sehat lima sempurna, untuk bisa makan sehari tiga kali saja butuh perjuangan. Ditambah mereka dibebankan aneka pungutan pajak yang mencekik leher. Sungguh kezaliman yang nyata. Inikah yang disebut merdeka?
Di sisi lain, penegakan hukum masih jauh dari keadilan. Adagium “Hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas” tampaknya masih menjadi realita yang sulit dielakkan di negeri ini. Terlalu banyak fakta ketidakadilan hukum di negeri ini yang terserak di depan mata rakyat. Bukan lagi rahasia, jika hukum bisa diperjualbelikan. Maka, sering kita dapati rakyat jelata harus pasrah meringkuk di balik jeruji meski mencuri hanya sepotong roti, sementara para tikus berdasi yang menggarong uang rakyat triliunan mendapat remisi. Inikah yang disebut merdeka? Padahal ketidakadilan dipertontonkan.
Tak hanya itu, potret wajah generasi di negeri ini juga porak-poranda diterjang badai kapitalisasi dan moderasi. Mereka dibajak potensinya atas nama penyelamatan ekonomi negeri. Akhirnya, generasi muda yang semestinya menjadi ujung tombak kebangkitan peradaban, diarahkan sekadar menjadi mesin-mesin industri. Mereka dididik bukan untuk menjadi individu berkepribadian Islam dan visioner membangun peradaban gemilang, melainkan sekadar untuk mengisi kursi-kursi industrialisasi. Maka, tak heran jika generasi hari ini krisis idealisme dalam pendidikan. Mereka tak lagi menjadikan moral, adab, akhlak sebagai tolak ukur pencapaian dalam pendidikan formal, melainkan sekadar mengejar nilai di lembar ijazah.
Lebih parah lagi, banyak generasi muda yang tak lagi menganggap penting pendidikan, yang penting adalah materi. Contoh kasus pada remaja SCBD Fashion Week yang kemarin sempat viral, mereka menolak mentah-mentah tawaran beasiswa pendidikan karena merasa dengan menjadi content creator mereka sudah menghasilkan materi. Inilah bentuk keterjajahan hakiki terhadap generasi muda. Mereka dimandulkan visinya, sebatas mencari materi. Jika sudah begini, negara akan krisis para intelektual di masa depan. Inikah yang disebut merdeka?
Belum lagi proyek moderasi beragama yang disusupkan ke dunia pendidikan, turut memperparah keterjajahan atas generasi hari ini. Mereka dibuat kian jauh dari ajaran Islam yang utuh, melainkan sekadar tahu pucuk-pucuknya saja. Mereka digiring menjadi pribadi yang melepaskan diri dari candu agama, dengan adanya anggapan bahwa agama hanyalah mengekang kemajuan. Walhasil, agama cukup dipakai di ranah privat individu yang menyangkut hubungan manusia dengan penciptanya. Selebihnya, urusan bermasyarakat dan bernegara, konstitusi yang menjadi pijakan. Jika bersikukuh berpegang teguh kepada agama secara kaffah, bersiaplah dilabeli radikal atau ekstremis. Inilah kesesatan ide moderasi, menciptakan islamofobia di tubuh umat Islamnya sendiri. Inikah yang disebut merdeka jika penghambaan yang semestinya wajib ditujukan kepada Allah saja berusaha dibelokkan untuk menghamba kepada sesama manusia?
Bersatu untuk Meraih Kemerdekaan Hakiki
Kita sudah menyaksikan betapa realita kehidupan hari ini dipenuhi pada potret kezaliman dan ketidakmerdekaan. Ya, penjajahan ideologi kapitalisme sekuler masih mengungkung negeri ini. Bukan hanya menjadikan hidup rakyat nelangsa tapi juga jauh dari syariat. Lihat saja, betapa negeri ini mempraktikkan utang ribawi, yang notabenenya Islam tegas mengharamkan riba.