SIRAH NABAWIYAH

Metode Dakwah Rasulullah Saw

Sepeninggal dua orang figur yang begitu dicintai dan dihormatinya – yang kemudian dikenal dengan tahun duka cita (‘aamul huzni ) – Rasulullah SAW mengganggap bahwa kota Mekah sudah tidak lagi sesuai sebagai pusat dakwah Islam. Untuk mengembangkan syiar Islam, beliau kemudian hijrah ke Thaif. Di sana beliau menjumpai pemuka-pemuka kabilah dan mengajak mereka kepada agama Islam. Namun, ajakan tersebut ditolak dengan kasar. Beliau diusir, disoraki dan dikejar-kejar bahkan juga dilempari batu hingga tubuhnya terluka. Akhirnya Rasulullah berlindung di bawah pohon anggur di kebun milik Utba dan Syaiba bin Rabi’a.

Mendapat perlakuan yang tidak simpatik dan kasar tersebut, Rasulullah SAW tidak serta merta membalasnya dengan perlakuan yang kasar pula. Bahkan, ketika malaikat penjaga gunung menawarkan kepada beliau untuk membalik gunung Akhsyabin ke atas penduduk Thaif sebagai balasan dari tindakan mereka, beliau menolaknya. Sebaliknya, beliau memperlakukan tindakan mereka dengan mendoakan kaum tersebut: “Allahummahdi qaumii fainnahum laa ya’lamuun” (Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku. Sesungguhnya mereka (kaum) yang tidak mengetahui).

Dari Anas bin Malik ra. beliau berkata, “Seorang Arab Badui pernah memasuki masjid, lalu dia kencing di salah satu sisi masjid. Lalu para sahabat ketika itu meneriakinya dan berkeinginan untuk mencegahnya, namun Rasulullah SAW dengan penuh bijaksana bersabda, “Jangan kalian putuskan kencingnya!” Maka tatkala orang tersebut selesai dari kencingnya, Nabi menyuruh agar tempat yang terkena kencing air kencing itu disiram dengan seember air, lalu memanggil orang Badui tadi dan bersabda kepadanya, “Sesungguhnya masjid ini tidak layak untuk membuang kotoran di dalamnya, namun ia dipersiapkan untuk sholat dan membaca Al Qur’an dan dzikrullah.” (HR. Bukhari Muslim). Dalam riwayat Imam bin Hambal, orang Badui itu berkata: “Ya Allah, sayangilah saya dan Muhammad, dan janganlah engkau sayangi seorangpun.”

Dakwah sejatinya adalah menyeru atau mengajak manusia dari (alam) kegelapan menuju (alam) terang benderang. Mengajak manusia kepada jalan-Nya (dakwah) adalah perbuatan mulia dan luhur. Dakwah juga berarti membimbing dan mengarahkan umat atau mad’u (orang yang diseru, diajak) untuk meningkatkan derajat kemanusiaannya dan bukan sebaliknya, menghinakan serta memperbudak mereka.

Allah Subhanahu wata’ala memberikan tuntunan metode dakwah yang baik dan benar, yaitu bil hikmah, mau’izhah hasanah wa jaadilhum billati hiya ahsan. Firman-Nya: “Ajaklah (manusia) kepada jalan Rabb mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik,” (QS An Nahl : 125). Di ayat lain Allah Subhanahu wata’ala berfirman: “Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, dan mengerjakan kebajikan dan berkata: “Sungguh, aku termasuk orang-orang muslim (yang berserah diri)?” (QS Fush-shilat : 33).

Suatu ketika pada perang Hunain, Fadhalah datang hendak membunuh Rasulullah SAW. Ia mendekati Rasulullah SAW. Ia berkata, “Ketika aku mendekati Rasulullah SAW, beliau menyimpan tangannya di dadaku. Demi Allah, dia tidak mengangkat tangannya hingga Allah tidak menciptakan sesuatu yang lebih aku cintai daripada dia.” Ia berkata lagi, “aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku mohon ampun dan bertasbih kepada Allah.” Rasulullah SAW bertanya, “Wahai Fadhalah, apa yang menyebabkan kamu datang?” ia menjawab, “Aku datang untuk membunuhmu, wahai Rasulullah, tetapi aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan engkau adalah utusan Allah.” Rasulullah SAW terpelihara dengan penjagaan Zat Yang Mahatunggal, seorang pun tidak akan ada yang bisa mengalahkan-Nya. “Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.” (Al-Maidah: 67)

Mengingat kemuliaannya itu, agama kita mengharamkan segala bentuk praktik kotor dengan mengatasnamakan dakwah, misalnya memanipulasi atau menjual ayat-ayat Allah demi keuntungan sesaat, mengeksploitasi potensi umat demi kepentingan pribadi atau melakukan pemaksaan dan tindakan anarkis atas nama agama. Oleh karenanya, amat sangat salah dan sesat pandangan yang mengatakan bahwa Islam disebarkan dengan pedang dan darah. Ajaran Islam tidaklah identik dengan terorisme dan anarkisme, karena keduanya banyak menimbulkan mudharat bagi masyarakat.

Di tengah hiruk pikuknya berbagai problema sosial yang menimpa masyarakat di semua lapisan, saat ini sangat dibutuhkan kehadiran para da’i yang membawa misi suci untuk menebar rahmat (kasih sayang) dan jalan keselamatan (dunia dan akhirat) sebagaimana misi Rasulullah SAW sebagai rahmat bagi semesta alam (QS Al Anbiya’: 107). Rasulullah SAW bersabda: “Rahmatilah (kasihilah) makhluk di bumi, nanti engkau dirahmati (dikasihi) Dzat yang ada di langit.” (HR. Thabrani)

Tutur kata yang lemah lembut, perilaku yang santun dan simpatik serta satu kata dengan perbuatan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari peran seorang dai. Figur dai seperti inilah yang dewasa ini dibutuhkan umat yang insya Allah dapat mengantarkan menuju Islam yang rahmatan lil’aalamiin. Wallahu a’lam bish-shawab.

Hamdi,S.Sos
Pegiat Forum Akselerasi Masyarakat Madani Indonesia (FAMMI), tinggal di Depok.

Artikel Terkait

Back to top button