NASIONAL

Meugang, Tradisi Unik di Aceh Jelang Ramadhan

Sebelum pelaksanaan meugang, Sultan Iskandar Muda memerintahkan otoritas resmi kerajaan atau Qadi Mua`azzam Khazanah Balai Silaturrahmi untuk mendata para fakir, miskin, anak yatim, dan penyandang disabilitas.

Sultan lalu memerintahkan bawahannya untuk menyediakan uang dirham, kain-kain, kerbau, dan sapi.

Pihak kerajaan lalu membagikan daging, uang, lima koin emas, dan kain sepanjang enam hasta. Hitungan hasta merujuk pada ukuran panjang dari ujung jari hingga siku. Sultan memercayakannya kepada keuchik atau kepala desa di Aceh untuk membagikannya.

Dalam Qanun Meukuta Alam Bab 2 Pasal 47 disebutkan bahwa pemberian bekal pada hari meugang itu merupakan wujud kecintaan sultan kepada rakyatnya.

Menurut Tarmizi atau akrab disapa Cek Midi ini, penamaan meugang atau makmeugang diambil dari sebuah kawasan yang makmur dan menjadi tempat persinggahan para saudagar kaya yang alim dengan kapal-kapal besar di wilayah Peunayong, Bandar Aceh Darussalam tempo dulu.

Tempat itu dijadikan sebagai lokasi menyembelih ternak menjelang Ramadhan. Kemakmuran di kawasan kemudian terdengar hingga seantero Aceh.

Tanpa kesepakatan bersama, tradisi menjelang Ramadan ini kemudian disebut meugang atau makmeugang.

Tradisi ini juga menjadi marwah bagi kaum pria untuk membawa pulang daging segar dan diberikan kepada istri mereka.

Masyarakat yang tidak memiliki kemampuan mendapatkan daging ternak berbadan besar, tetap mengupayakan membeli ayam. Bagi sebagian masyarakat, meskipun tengah dalam kesusahan, daging meugang itu wajib walapun hanya sedikit.

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button