Militer di antara Baliho dan Karangan Bunga
Video penurunan baliho bergambar pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Syihab oleh sekelompok orang berpakaian loreng, viral di jagat media sosial (detik.com, 20/11/2020). TNI mengaku bahwa mereka hanya membantu Satpol-PP.
Sehari sebelumnya, warganet juga dibuat heboh dengan sejumlah kendaraan taktis (rantis) milik Komando Operasi Khusus TNI (Koopssus TNI) yang berhenti di jalan raya di Kelurahan Petamburan (Republika.co.id, 20/11/2020). Sirine meraung-raung sambil dikawal oleh polisi militer (POM), rantis berhenti tepat di depan gang Markas FPI.
Ini ada apa sebenarnya? Kendaraan sedemikian hebat dan kuat menjajal jalanan kota, tempat rakyat sipil beraktivitas. Memberhentikan dan menurunkan tentara untuk menurunkan baliho.
Tambah ramai lagi dengan penyataan sang Pangdam Jaya. Bahwa mereka hanya membantu Satpol-PP menertibkan baliho. Belum lagi dengan statementnya: “Kalau perlu, FPI dibubarkan saja”. Polarisasi di masyarakat semakin menguat.
Pro kontra mengiringi tindakan Pangdam Jaya. Suara yang pro sudah bisa kita ketahui bersama dari mana asalnya. Dan deretan karangan bunga dari berbagai aliansi, nyata ataupun abal-abal, telah berjajar di depan Kodam Jaya.
Pengamat militer Fahmi Alfansi Pane, menjelaskan menjelaskan tugas Koopssus. Yaitu untuk menghadapi ancaman nyata NKRI, seperti terorisme, separatisme, dan beragam ancaman hibrida (campuran). Jadi, bukan kerjaan pasukan khusus untuk menakut-nakuti warga sipil, dalam hal ini anggota FPI (Republika.co.id, 20/11/2020). Menurut dia, terorisme di Poso dan Papua masih terus berlangsung hingga saat ini. Semestinya itu dulu yang ditangani.
Tak hanya pengamat militer yang berbicara, jubir Organisasi Papua Merdeka (OPM) pun turut mengomentari aktivitas TNI menurunkan baliho. Sebby Sambom mengajak TNI berhadapan dengan pasukan OPM di Papua (Republika.co.id, 21/11/2020).
TNI kini berada di antara baliho dan karangan bunga. Laksana gadin yang dipakai oleh rezim, seperti itulah keadaan TNI. Rezim saat ini telah menggunakan semua alat negara untuk melanggengkan kekuasaannya. Terhadap lawan politiknya, diberikan stigma negatif jika tak mampu mendudukkan di bawah kekuasaannya.
Dana negara digunakan untuk membayar para buzzer yang selalu mendengung, membuat gaduh, memperkeruh keadaan, memperuncing perbedaan, dan memperbesar masalah. Dan tak lupa senantiasa menyanjung sang pemberi dana. Tak peduli benar atau salah, yang penting puja saja.
Rezim ini juga telah mengerahkan seluruh kemampuan untuk memproduksi UU yang mendukung usaha mengekalkan kekuasaan. Sebutlah UU Ormas yang menjadi legitimasi pencabutan BHP HTI dan tak diperpanjangnya ijin SKT FPI. Secara, kedua ormas ini lantang membongkar kezaliman rezim.
Dan hari ini, TNI yang semestinya berfungsi menjaga keamanan negara, justru dijadikan gadin rezim. Digunakan untuk memukul rakyat yang dianggap membahayakan singgasana kekuasaan. Inilah keniscayaan dalam sistem demokrasi. Saling sandera di trias politikanya membuat militer tak mampu menjalankan fungsi semestinya. Seringkali menjadi alat rezim, baik eksekutif maupun legislatif sebagai bodyguard memuluskan jalan dan kekuasaannya. Miris.
Berbeda dengan sistem Islam. Loyalitas militer dipersembahkan hanya untuk Allah SWT. Fungsinya menjaga keamanan negara dengan berprinsip pada syariat Allah. Bebas dari kepentingan penguasa.
Adapun para penguasa di sistem Islam pun tak terbenak untuk memperalat militer. Tersebab jabatan adalah amanah terberat yang menuntut pertanggungjawaban di akhirat kelak. Peenguasa dan militer bersama-sama mengatur strategi untuk menyebarluaskan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad. Wallahu a’lam []
Mahrita Julia Hapsari
(Komunitas Muslimah untuk Peradaban)