Mimpi Kapitalisme Mengatasi Krisis Iklim
Isu perubahan iklim menjadi hangat dibincangkan dan menjadi pembahasan tingkat global. Kekhawatiran terjadinya krisis iklim salah satunya terpicu kenaikan suhu rata-rata global.
Dampak perubahan iklim ini nampak dari catatan iklim selama 40 tahun terakhir. Jumlah hari-hari dengan suhu panas ekstrem per tahun, di mana suhu menyentuh angka 50°C, telah meningkat dua kali lipat sejak tahun 1980-an, menurut penelitian BBC. Antara 1980-2009, suhu di atas 50°C rata-rata sebanyak 14 hari setiap tahun. Angka ini naik ke 26 hari per tahun pada 2010-2019. Bahkan di Irak tahun 2021 suhu ekstrem mencapai 52 derajat celcius.
Suhu panas ekstrem seperti ini juga terjadi di lebih banyak area di dunia, dibandingkan sebelumnya. Suhu yang mencapai 50°C umumnya terjadi di Timur Tengah dan kawasan Teluk. Tercatat mencapai 48,8°C di Italia dan 49,6°C di Kanada musim panas ini.
Awal 12 November 2021, para pemimpin dari 197 negara berkumpul di Glasgow Skotlandia untuk menghadiri konferensi UN Climate Change Conference of the Parties ke-26 (COP26). Konferensi ini bertujuan untuk membahas perubahan iklim global dan rencana menghindari krisis Iklim. Agendanya adalah penentuan target pengurangan emisi karbon global, yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil dan deforestasi. Keduanya menyebabkan kenaikan suhu rata-rata global di bumi dan menyebabkan peningkatan frekuensi dan volume cuaca ekstrem seperti gelombang panas, kekeringan, banjir serta kebakaran hutan. Solusi yang dibahas meliputi penghapusan pembangkit listrik batu bara, peningkatan investasi dalam energi terbarukan (EBT), mengganti kendaraan berbahan bakar bensin dengan model listrik dan pendanaan yang lebih besar untuk mendukung transisi energi di berbagai negara.
Meski demikian, tidak sedikit aktivis lingkungan, baik nasional maupun internasional, mengkritik agenda ini dan menganggap bahwa mereka hanya berpura-pura berempati pada mereka yang terdampak krisis iklim. Komunitas internasional mengaku pesimis dalam menemukan solusi atas krisis ini. Berbagai perjanjian internasional telah ditandatangani untuk mengatasi masalah perubahan iklim dan lingkungan, seperti Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim 1992, Protokol Kyoto 1997, dan Kesepakatan Paris 2015, tidak menunjukkan perubahan nyata. Kesepakatan negara kaya untuk menyumbangkan US $100 miliar per tahun pada 2020 – 2024 untuk membantu negara berkembang mengatasi dampak perubahan iklim juga tidak termobilisasi dengan baik.
Mengapa diskusi dan perdebatan sejauh ini telah gagal untuk mendiagnosis dan mengobati akar penyebab krisis lingkungan global?
Kapitalisme Akar Persoalan Krisis Iklim
Paradigma kapitalisme dalam menentukan kebijakan adalah mengutamakan kepentingan korporasi. Inilah yang menjadi faktor yang menyulitkan niat untuk mewujudkan kelestarian lingkungan. Hasrat meraup keuntungan telah mengerdilkan kesadaran korporasi untuk memperhatikan lingkungan.
Seperti yang terjadi pada 2014 lalu pemimpin dunia pun telah menandatangani perjanjian mengakhiri deforestasi di New York, Amerika Serikat. Nyatanya, laju deforestasi masih saja meningkat. (narasinewsroom). Tahun 2018 Indonesia melarang pembukaan lahan baru, namun data kementrian pertanian justru perkebunan sawit bertambah 14 juta ha di tahun yang sama dan bertambah 16 juta ha pada tahun 2020.
Di Indonesia, komitmen mengatasi krisis iklim dengan mewujudkan lingkungan bersih masih terkendala baik dari sisi regulasi maupun komitmen masyarakat. Langkah taktis yang ditempuh antara lain meredam emisi karbon dengan beralih ke penggunaan energi baru terbarukan (EBT), dengan target 29 % tahun 2030 dan 0% emisi di tahun 2060. Ancang-ancang pemerintah beralih ke EBT kontras dengan meningkatkannya produksi bahan bakar fosil yang dimotori para korporasi.