SUARA PEMBACA

Sugar Daddy, Sakitnya Masyarakat di Era Kapitalisme

Istilah “sugar daddy”awalnya muncul di rentang 1915-1920. “sugar daddy” terdiri dari dua kata, yakni sugar dan daddy. Sugar artinya gula. Dalam fenomena sosial maknanya adalah hadiah, kemewahan dan tunjangan. Sedangkan daddy menunjuk pada sosok lelaki yang sudah tua yang mempunyai jabatan dan kemewahan.

Menurut dictionary.com, “sugar daddy”adalah seorang pria kaya yang menghabiskan dengan bebas kekayaannya untuk orang yang lebih muda, umumnya seorang wanita atau pria gay, sebagai imbalan atas persahabatan atau kenikmatan seksual).

Dalam British dictionary, “sugar daddy”adalah orang kaya biasanya paruh baya atau pria tua yang memberikan hadiah mahal pada seorang muda sebagai imbalan atas persahabatan atau kenikmatan seksual.

Jadi yang menjadi korban “sugar daddy”adalah wanita dan atau pria yang lebih muda. Dengan demikian bisa dipahami bahwa “sugar daddy”itu bisa termasuk heteroseksual maupun homoseksual.

Mirisnya fenomena tersebut juga menjangkiti negeri-negeri kaum muslimin. Data yang dilansir oleh SEA Mashable (11/2/2021) bahwa jumlah “sugar daddy”di Indonesia adalah sebanyak 60.250 kasus. Indonesia menempati rangking ke-2 di Asia terkait jumlah “sugar daddy.” Menyusul Malaysia sebanyak 42.500 kasus. Parahnya Indonesia dan Malaysia mengalahkan Jepang dengan jumlah 32.500 kasus “sugar daddy.”

Demikianlah keadaan kaum muslimin di tengah-tengah kehidupan Kapitalisme. Standar perbuatan halal haram sudah berganti menjadi standar untung rugi. Standar kebahagiaan guna meraih ridho Allah telah berganti menjadi standar kepuasan materi. Disebut kebahagiaan bila seseorang dapat meraih kepuasan materi yang sebanyak-banyaknya. Hal ini berkelindan dengan asas sekulerisme dari Kapitalisme. Walhasil kehidupan benar-benar terlepas dari ajaran Islam.

Munculnya fenomena “sugar daddy”memberikan maklumat akan rusaknya kehidupan pergaulan antara pria dan wanita. Tidak ada lagi nilai-nilai luhur yang diperhatikan. Institusi pernikahan tidak lagi dipandang sakral. Hal-hal yang berpotensi membangkitkan naluri seksual dalam berbagai bentuk dan media begitu bebas menjadi konsumsi umum. Pornografi dan pornoaksi menghiasi kehidupan sehari-hari. Akibatnya fantasi seksual menjadi liar dan tidak terkendali. Perzinaan, pemerkosaan, dan pelecehan seksual seolah menjadi menu harian.

Fenomena “sugar daddy”adalah satu bentuk dari perzinaan. Bagi yang memiliki harta banyak, maka mereka akan menjadi “sugar daddy”yang bisa tenang dalam petualangan seksualnya. Berbeda bagi yang tidak memiliki harta cukup sebagai kompensasi kencan. Mereka bisa nekad melakukan berbagai penipuan guna memuaskan birahinya. Baru-baru ini di Singapura, ada seorang pria “sugar daddy”yang harus berurusan dengan hukum karena dilaporkan oleh 11 wanita yang menjadi korban penipuannya. 11 wanita ini dipaksa untuk melayani nafsu bejatnya bila tidak ingin foto-foto telanjang mereka disebarluaskan.

Demikianlah rusaknya pergaulan pria dan wanita dalam kehidupan sekulerisme ini. Bahkan fenomena “sugar daddy”telah melahirkan fenomena turunannya yaitu Sugar Mom dan Sugar Baby. Sugar Mom menunjuk kepada wanita kaya yang sudah paruh baya yang memberikan imbalan atas persahabatan intim atau kenikmatan seksual. Sedangkan pria dan atau wanita yang lebih muda disebut sebagai “sugar baby.”

Sistem Kapitalisme yang berasaskan sekulerisme telah merusak kaum muslimin. Kaum muslimin telah menempatkan Islam hanya sebagai urusan pribadi dan nilai moral yang tidak punya efek dalam kehidupan. Demikianlah kaum muslimin secara sistematis telah berhasil dijauhkan dari ajaran Islam yang mulia.

Oleh karena itu, guna memperbaiki kondisi keterpurukan kaum muslimin ini tidak lain solusinya mereka kembali kepada ajaran Islam secara paripurna.

Mengatasi fenomena “sugar daddy”dan turunannya adalah dengan menerapkan sistem pergaulan pria dan wanita sesuai dengan aturan Islam. Sistem pergaulan Islam akan melahirkan masyarakat yang bersih dan dihiasi keimanan serta ketaqwaan. Pria dan wanita menjadi pribadi yang menjaga kehormatannya. Mereka saling bekerjasama dalam membangun masyarakat yang Islami. Sebuah tatanan masyarakat yang berasaskan akidah Islam seraya menerapkan Islam secara paripurna.

25 Maret 2021

Ainul Mizan, Peneliti LANSKAP Malang.

Artikel Terkait

Back to top button