OPINI

Minuman di Peradaban Islam

Umat ​​Islam tertantang mengembangkan minuman halal dengan teknologi yang tak menjajah.

Persoalan minuman keras kembali menjadi topik hangat belum lama ini. Bermula dari perpres pelaksana UU Cipta Kerja yang memuat daftar investasi yang boleh dilakukan asing di Indonesia. Salah satunya, di bidang produksi dan distribusi minuman keras (miras).

Intinya, miras dihapus dari daftar negatif investasi (DNI) meski hanya untuk empat provinsi yaitu Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua. Ini daerah minoritas Muslim. Daerah lain diizinkan hanya bila diusulkan gubernur dan disetujui Kepala BKPM.

Muncul penolakan “legalisasi miras” di mana-mana. Akhirnya lampiran perpres itu konon akan diperbaiki. Namun, sebenarnya dengan dicabutnya perpres itu, tak lantas miras jadi ilegal di negeri ini. Padahal, umat Islam meminta agar miras menjadi ilegal.

Semua UU atau peraturan yang membolehkan miras agar dicabut. Bukan hanya pencabutan perpres, apalagi cuma lampirannya.

Di tulisan ini, penulis ingin melihat dari sisi teknologi. Ketika suatu zat dinyatakan legal, pantas bila muncul teknologi yang dioptimalkan, zat tadi menjadi lebih baik, lebih murah, dan lebih cepat tersedia.

Di Technical University Muenchen, Jerman, ada program studi “Teknologi Minuman Keras” (Brew & Beverage Technology). Di sana, dipelajari aneka bahan yang bisa dijadikan bahan baku miras, proses pembuatannya yang higienis, murah, dan cepat.

Selain itu, metode penyimpanan, pengemasan dan distribusi yang efisien, hingga peracikan dan penyajian yang menarik. Bahkan mereka mengembangkan bir non alkohol, yang konon tetap nikmat. Sebuah minuman “untuk pemula”.

Jerman terkenal sebagai negeri penikmat bir per kapita tertinggi di dunia. Anehnya, masyarakat Jerman relatif tahu diri kapan boleh minum, kapan harus berhenti, dan bagaimana perilaku mereka ketika mabuk.

Tak heran, meski pada malam hari bisa berpesta bir sampai mabuk, produk yang mereka buat di siang hari tetap berkualitas. Dunia tetap menghargai produk seperti mobil Mercedes atau BMW, perangkat elektronik dari Siemens, produk kimia dari BASF, dan sebagainya.

Terbayangkah kita, andaikan orang Jerman beriman dan meninggalkan miras, akan seperti apa kualitas produk mereka?

Pada masa Nabi, minuman halal yang dikenal belum banyak. Orang baru mengenal air, madu, susu, dan rendaman buah kurma. Namun dalam At-Tabikh karya Ibn Sayyar al Warraq (abad 10-11 M) disebut aneka minuman dicampur susu atau madu sebagai pemanis.

Jahe dan kopi disebut dalam kitab itu, meski belum dalam bentuk yang orang menikmatinya hari ini. Di Al-Qur’an pun disinggung tentang jahe sebagai minuman ahli surga. Di surga itu, mereka diberi minum segelas (minuman) yang campurannya jahe. (QS al-Insaan [76]: 17).

Namun, wedang jahe hingga kini belum populer sebagai minuman menyehatkan. Di dunia, belum ditemukan satupun laboratorium penelitian jahe atau program studi minuman jahe di perguruan tinggi mana saja di seluruh negeri Muslim.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button