OPINI

Mirisnya Negeri Agraris

Negeri itu negeri agraris, tanah subur rakyat makmur, itu dulu kata si menir dan si japan. Oleh karenanya mereka bersikeras ingin menguasai negeri ini. Tapi kini, di abad ini, negeri agraris itu negeri yang miris. Beras impor, Kacang impor, Gula impor , Cabe, bawang impor, Ubi juga impor. Sekalian saja menterinya, menteri impor. Bisa jadi, presidennya impor juga produk luar negeri.

Indonesia dikenal sebagai negara agraris, Tetapi, apakah sebutan negara agraris masih relevan hingga saat ini? Bila diartikan secara eksplisit bahwa negara agraris berarti negara yang penduduknya mayoritas bermata pencarian pada sektor pertanian, maka Indonesia masih relevan disebut sebagai negara agraris. Tapi, apabila negara agraris didefinisikan sebagai negara yang perekonomiannya bergantung pada sektor pertanian, maka Indonesia sudah tidak pas lagi disebut sebagai negara agraris. Sektor yang memegang sumbangsih pertumbuhan ekonomi terbesar negara ini telah tergantikan dengan sektor industri.

Baru baru ini, kasus impor beras Enggar VS Buwas ini, selayaknya tidak membuat publik alpa dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sejak kuartal pertama 2018. BPK mengungkap kesalahan kebijakan impor pangan untuk komoditas beras, gula, garam, hingga daging sapi di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Dirut Bulog naik pitam. Bagaimana tidak, pihaknya menyayangkan kebijakan Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukito, yang melakukan impor beras sebanyak 2 juta ton. Budi Waseso (Buwas) selaku Dirut Bulog, bahkan menyatakan bahwa gudangnya tengah penuh dengan stok beras yang mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri hingga Juni 2019. Tak tanggung-tanggung, Bulog juga telah menyewa gudang di beberapa daerah dengan biaya Rp 45 miliar demi menampung surplus beras nasional. Dengan kata lain, impor beras tidak seharusnya dilakukan.

Dari hasil pemeriksaan BPK, setidaknya ada 11 kesalahan impor pangan sejak 2015 hingga semester I 2017. Dalam hal impor beras, penerbitan Persetujuan Impor (PI) beras sebanyak 70.195 ton dengan realisasi sebanyak 36.347 ton ternyata tidak memenuhi dokumen persyaratan, melampaui batas berlaku, dan bernomor ganda. PI ini secara jelas menunjukkan bahwa Kementerian Perdagangan lalai dalam memberikan PI. Selain itu, adanya impor beras kukus sebanyak 200 ton dengan nilai mencapai Rp1,65 miliar oleh Perum Bulog yang dilakukan tanpa rekomendasi dari Kementerian Pertanian (Kementan).

Berdasarkan konfirmasi BPK, Kementan tidak memberikan dokumen rekomendasi teknis untuk impor beras kukus tersebut karena Perum Bulog tak melengkapi persyaratan dan mengajukan kembali permohonan rekomendasi. Namun, Kemendag tetap menerbitkan PI untuk Bulog.

Mirisnya, di sisi lain terjadi temuan beras busuk di gudang bulog mencapai senilai Rp160 miliar. Menurut data, pemusnahan beras tersebut dilakukan karena 100 ribu ton di antaranya sudah disimpan dia atas empat bulan. Sementara itu 20 ribu lainnya usia penyimpanannya sudah melebihi 1 tahun.(cnnindonesia.com)

Mencermati realita ini, nampak betapa birokrasi dan struktur kerja antar institusi pemerintah pengelola impor beras begitu minim komunikasi dan koordinasi. Seharusnya antara Bulog dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag) mesti berkoordinasi untuk menyamakan pendapat dan bisa bersinergi mendorong langkah pemerintah menjaga pasokan beras. Sebagai Negara agraris, sungguh ironi, ketahanan pangan kita ternyata sangat rapuh. Sebagian besar bahan pangan untuk memenuhi sembako (sembilan bahan pokok) rakyat kita diimpor dari luar negeri. Masing-masing jawatan justru terlihat bekerja tanpa visi bersama layaknya sebuah tim yang solid. Para pejabat itu seolah masih saja absen akan peran dasar mereka dalam melayani urusan bahan pangan pokok negara yang besar ini.

Sistem kerja yang terdesentralisasi dan minim antisipasi, tak pelak menunjukkan keseriusan kerja yang gagal. Padahal mengelola ketersediaan beras sebagai bahan pangan pokok, adalah bagian dari ikhtiar untuk mencapai target periodik yang terukur dan terencana. Tambal sulamnya cara kerja, ditambah rumitnya birokrasi, sungguh tak lagi menjadikan kepentingan rakyat sebagai tujuan pengabdian profesinya.

Haruskah kita masih berpihak pada kapitalisme-demokrasi? Sistem ini telah meniscayakan pola kerja ala rimba. Saling serobot maupun berlepas kepentingan, begitu mudah terjadi. Tak terkecuali saat mengelola komoditi beras. Belum lagi adanya ancaman mafia pangan.

Ini membuktikan, individualisme selaku nyawa utama kapitalisme tanpa sadar telah sedemikian akut menjangkiti cara kerja para pejabat negara. Akibatnya, tiap lembaga negara nampak seperti bekerja sendiri-sendiri. Ditambah kualitas teamwork yang ala kadarnya. Mereka seperti mempermainkan hajat hidup rakyat, yang di saat yang sama mereka juga mudah tergiur nominal fee maupun komisi demi menebalnya kantong pribadi.

Sungguh, begitu jauhnya sistem pengelolaan beras nasional ini dari rencana strategis yang bervisi-misi mengurusi urusan masyarakat luas. Rakyat dibiasakan untuk menikmati hasil panen tanpa dilatih untuk menanam, mengembangkan, dan meningkatkan produk pertanian melalui implementasi riset unggulan dan budidaya pertanian, holtikultura, dan peternakan yang canggih. Ketahanan pangan tidak hanya terkait dengan mindset kebijakan pemerintah yang hobi impor, melainkan juga tidak dapat dipisahkan dari manajemen ketahanan pangan itu sendiri.

Dalam konteks ini, al-Qur’an menjelaskan pentingnya manajemen ketahanan pangan melalui kisah Nabi Yusuf As. Alkisah, seorang raja bermimpi: “Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus; tujuh tangkai (gandum) yang hijau dan (tujuh tangkai) lainnya yang kering. Wahai orang yang terkemuka! Terangkanlah kepadaku tentang takwil mimpiku itu jika kamu dapat menakwilkan mimpi.” (QS. Yusuf: 43).

Sang raja kemudian meminta Nabi Yusuf untuk menakwilkan mimpinya tersebut. “Yusuf, wahai orang yang sangat dipercaya! Terangkanlah kepada kami (takwil mimpi) tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk yang dimakan oleh tujuh (ekor sapi betina) yang kurus, tujuh tangkai (gandum) yang hijau dan (tujuh tangkai) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahui.” (QS. Yusuf/12: 46)

Nabi Yusuf kemudian menerangkan takwil mimpi tersebut. “Dia (Yusuf) berkata, “Agar kamu bercocok tanam tujuh tahun (berturut-turut) sebagaimana biasa; kemudian apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan di tangkainya kecuali sedikit untuk kamu makan.” (QS Yusuf: 47)

Menurut penulis tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir, Ibn ‘Asyur, manajemen katahanan pangan ala Nabi Yusuf As tersebut perlu diwujudkan dengan memahami simbol-simbol ketahanan pangan.

Sapi yang gemuk merupakan simbol orientasi produksi pangan dengan mengoptimalkan produksi lahan pertanian. Tangkai gandum yang hijau adalah simbol tata pembenihan, penyuburan dan produksi pangan untuk mencukupi kebutuhan pokok setiap masa tanam. Sapi yang kurus melambangkan pentingnya mengantisipasi masa paceklik dan krisis pangan di masa mendatang.

Dari kisah tersebut dapat diambil beberapa pelajaran berharga. Pertama, pentingnya mensyukuri dan mengoptimalisasikan pemanfaatan sumber daya alam. Tidak semestinya potensi kekayaan alam ditelantarkan, melainkan harus dihidupkan dan dikelola sedemikian rupa, sehingga dapat memberikan nilai tambah ketahanan pangan, kemakmuran, dan keberkahan bagi semua.

Kedua, etos bercocok tanam, memproduksi pangan, dan menabung hasil panen (berperilaku hemat dan tidak konsumtif) harus dikembangkan. Manajemen ketahanan pangan menghendaki perencanaan pembenihan, pengolahan lahan, penanaman, perawatan, dan pemanenan produk pangan yang melimpah, sehingga hasil penenannya itu surplus dan sebagiannya dapat disimpan untuk mencukupi kebutuhan masa-masa mendatang, terutama di masa paceklik.

Ketiga, prinsip swasembada pangan dalam jangka panjang, minimal tujuh tahun ke depan, perlu menjadi komitmen bagi semua, terutama pemimpin bangsa, agar ketahanan nasional tidak mudah goyah dan gonjang-ganjing, hanya karena nilai tukar rupiah mengalami fluktuasi. Jika kita memiliki manajemen ketahanan pangan yang solid, niscaya rakyat tidak akan mengalami kelangkaan bahan pangan dan mahalnya harga-harga sembako. Keempat, manajemen ketahanan pangan harus berorientasi futuristik; dibarengi dengan etos menyimpan atau menabung dan mengelola stok pangan yang memadai untuk jangka panjang.

Selain itu, manajemen ketahanan pangan juga menghendaki pemimpin bangsa ini untuk tidak gampang menggadaikan aset dan kekayaan bangsa kepada pihak asing, dan agar tidak hobi impor sembako sebelum mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam yang dimiliki bangsa ini.
Wallahu a’lam bish-shawab

Ahsani Ashri
(Nutritionist, Pemerhari Generasi)

Artikel Terkait

Back to top button