Moderasi Beragama Tak Diperlukan, Ini Alasannya
Universitas Airlangga (Unair) bersama dengan Kemenag RI menggelar Seminar Moderasi Beragama di Ruang Ternate, pada Rabu (3-4-2024). Bertema “Penguatan Moderasi Beragama bagi Civitas Akademika di Perguruan Tinggi” tersebut, Rektor Unair Prof. Dr. Mohammad Nasih, S.E., M.T., Ak. menuturkan bahwa agama harusnya dapat menjadi media untuk mencapai tujuan yang mengutamakan keadilan.
Penyelenggaraan seminar ini sejatinya tidak mengejutkan. Sejak beberapa tahun terakhir, moderasi beragama memang sedang digaungkan di dunia pendidikan. Selain seminar-seminar, berbagai program lain juga diselenggarakan untuk memperkuat moderasi beragama, seperti membangun rumah-rumah moderasi, memasukkan ide moderasi beragama ke dalam kurikulum, hingga mengadakan lomba-lomba pidato dan pembuatan video moderasi beragama.
Pengarusan moderasi beragama berpandangan bahwa agama dapat menyebabkan pertikaian dan ketidakadilan dalam masyarakat, sehingga program moderasi beragama perlu digulirkan demi terciptanya kondisi yang aman dan damai. Moderasi beragama juga dipandang sebagai solusi bagi masyarakat plural yang multikultural seperti di Indonesia. Karena mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, secara tidak langsung yang dimaksud cara pandangnya perlu di moderasi tentunya adalah Islam.
Meninjau Moderasi Beragama
Moderasi beragama didefinisikan sebagai cara pandang dalam beragama secara moderat, yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Kerap ditekankan bahwa moderasi beragama bukan moderasi agama. Dengan kata lain, yang diubah bukan agamanya, melainkan hanya cara pandangnya saja. Padahal cara pandang seseorang dalam beragama dapat menjadi penentu seseorang dalam mengamalkan agamanya dan begitu mempengaruhi perilaku umatnya.
Wacana moderasi beragama berawal dari kebijakan pemerintah AS setelah peristiwa 11 September dengan slogan “war on terrorism”. Wacana terus bergulir hingga Desember 2017, Resolusi Majelis Umum PBB mendeklarasikan 2019 sebagai tahun “International Year of Moderation” dalam upaya mempromosikan moderasi adalah cara untuk mencegah munculnya ekstremisme dan terorisme.
Oleh karenanya, tidak heran jika moderasi beragama sangat kental bernuansa cara pandang barat, namun jauh dari cara pandang Islam. Hal ini terlihat dari empat indikatornya, yakni komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan penerimaan terhadap tradisi. Yang tentunya semua itu tidak selaras dengan cara pandang Islam.
Terkait toleransi, moderasi beragama memiliki pandangan yang berbeda dengan perspektif Islam. Dalam Islam, toleransi berarti membiarkan dan menghormati umat agama lain dalam menjalankan ibadahnya, sedangkan toleransi menurut moderasi beragama tidak sebatas demikian karena bersandar pada paham liberal yang relatif dan berbasis sekularisme dan pluralisme.
Contohnya, soal penyimpangan seksual (LG-BT) yang menurut paham liberal merupakan hal yang mesti ditoleransi, diberi ruang, dan diterima di tengah masyarakat. Demikian pula dengan pernikahan beda agama mulai di normalisasi. Sedangkan dalam Islam, hal-hal tersebut adalah perbuatan terlarang.
Indikator berikutnya, yakni anti kekerasan, juga tidak sesuai karena sikap anti kekerasan yang dimaksud dalam moderasi beragama digeneralisasi untuk semua kekerasan tanpa ada perkecualian. Sedangkan dalam Islam, pada dasarnya kekerasan—misalnya pembunuhan—adalah haram. Namun, dalam beberapa keadaan, pembunuhan dibolehkan berdasarkan dalil Al-Qur’an dan Sunnah, seperti dalam hukuman qisas dan membunuh musuh di medan perang (jihad fi sabilillah).
Lalu menyoal tradisi atau budaya apa pun yang berkembang di masyarakat harus dikembalikan kepada standar Islam, yakni Al-Qur’an dan Sunnah. Jika ada tradisi yang tidak bertentangan dengan Islam, misalnya blangkon (penutup kepala khas Jawa), umat Islam boleh mengambil atau memakainya. Namun, jika tradisinya itu bertentangan dengan Islam, umat Islam haram mengikutinya.
Moderasi beragama ini sangat berdampak negatif, terutama bagi umat Islam, karena menjadikan umat Islam jauh dari paham agamanya sendiri. Moderasi beragama dapat menimbulkan kesalahpahaman, bahkan ketakutan untuk belajar agama dengan dalih tidak mau menjadi ekstremis, radikal, dan teroris.
Alhasil, banyak orang tua melarang anaknya untuk mengikuti kajian-kajian Islam di luar sekolah. Padahal ini dapat menyebabkan mereka bodoh terhadap agamanya. Karena mereka hanya sekadar mendapatkan pelajaran agama di sekolah dengan waktu yang minim dan muatan ilmu yang tidak lengkap. Mereka tidak mendapatkan pemahaman menyeluruh bahwa Islam juga bersifat politis, yakni mengatur segala aspek kehidupan. Akibatnya, umat Islam saat ini mudah dijajah secara pemikiran.