NASIONAL

Muhammadiyah: Pernyataan Moeldoko Berbahaya

Jakarta (SI Online) – Pengurus Pusat Muhammadiyah menyesalkan pernyataan Kepala Kantor Staf Kepresidenan, Jendral (Purn) Moeldoko, terkait adanya potensi kerawanan menjelang sidang putusan sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK). Moeldoko menyebut ada 30 terduga teroris terdeteksi masuk ke Jakarta.

“Pernyataan ini terlalu berbahaya untuk disampaikan di ruang publik,” ungkap Ketua Bidang Hukum, HAM dan Kebijakan Publik Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Muhammad Busyro Muqoddas, dalam pernyataan tertulisnya di Jakarta, Kamis 27 Juni 2019.

Menurut Busyro, seharusnya pemerintah dapat lebih berhati-hati dalam menyampaikan informasi ke masyarakat. Apalagi, kata dia, dalam agenda politik seperti saat ini pemerintah harus arif dan bijaksana dalam menciptakan suasana yang lebih kondusif.

“Sebagai Kepala KSP yang merupakan pejabat negara, seharusnya tidak terburu-buru dalam membuat pernyataan publik terhadap isu sensitif tentang terorism,” kata Busyro.

Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini menasihati, seharusnya Negara dapat melakukan analisis terlebih dahulu terhadap informasi adanya 30 teroris hendak masuk ibu kota itu melalui institusi BIN dan aparat terkait, untuk dilakukan pencegahan. Tidak semestinya informasi semacam itu disampaikan kepada masyarakat dan mengganggu psikologis publik dalam suasana agenda politik saat ini.

“Pernyataan Moeldoko juga mencerminkan Negara gagal dalam mengevaluasi dan mencegah terjadinya terorisme dan kekerasan lainnya,” tandasnya.

Busyro menjelaskan, stigma terorisme dan kekerasan selalu dilekatkan pada simbol-simbol Islam yang sudah mulai sejak era orde baru hingga era sekarang. Tahun 1971 dimulai oleh state terorism dengan label Jamaah Islam, Usroh, Komando Jihad. Sekarang dengan label-label Islam dan terduga pelaku yang selalu Islam.

Ia juga mempertanyakan, dalam kurun waktu yang sudah terlalu panjang itu, bagaimana keberhasilan pemerintah dalam menangani terorisme. “Akankan selalu melekatkan stigma terorisme pada kelompok muslim,” tanya dia.

Menurut Busyro, agar stigmasasi terorisme terhadap kelompok muslim tidak menjadi teror psikologis kepada umat Islam, pemerintah dan negara sudah saatnya lebih jujur terbuka menjelaskan akar masalahnya.

Selain itu juga mendesak presiden untuk mampu mengendalikan jajarannya agar adil dan terbuka dalam mengevaluasi pernyataan-pernyataan publiknya sambil melakukan koreksi bahwa problem sesungguhnya yang mendera masyarakat adalah dampak pemiskinan masif akibat korupsi politik yang melanda birokrasi negara yg sekaligus sebagai akar radikalisme dan konflik sosial.

“Hendaknya pemerintah semakin menyadari peran dan kontribusi umat Islam dalam proses-proses pilkada dan pemilu belakangan ini sebagai modal sosial yang otentik. Maka perlu semakin dilindungi hak-hak sosial politik ekonominya, dan dihindarkan dari kecenderungan sebagai komoditas politik musiman,” pungkas Busyro.

red: shodiq ramadhan

Artikel Terkait

Back to top button