NASIONAL

MUI Pusat Tetapkan Shalat Jumat Bergelombang Tidak Sah, MUI DKI: Sami’na wa Atho’na

Jakarta (SI Online) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta mengaku mendengar dan manaati ketetapan MUI Pusat dalam masalah pelaksanaan shalat Jumat di masa pendemi Covid-19.

Sebelumnya MUI DKI Jakarta berpandangan boleh melaksanakan shalat Jumat bergelombang.

Baca juga: Normal Baru, JK Usulkan Shalat Jumat Dua Gelombang

Sementara MUI Pusat, berdasarkan Fatwa No 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Shalat Jumat Bergelombang menetapkan tidak sah melaksanakan shalat Jumat bergelombang (lebih dari sekali) di tempat yang sama pada waktu berbeda.

MUI Pusat berpendapat, Indonesia berbeda dengan kondisi di negara-negara luar yang minoritas Islam. Di Indonesia, masjid, mushola, aula majelis taklim, bahkan lapangan sangat banyak yang dapat digunakan untuk menggelar shalat Jumat, bila masjid-masjid yang karena menerapkan protokol Covid-19 terpaksa berkurang kapasitasnya.

Baca juga: Taujihat MUI Pusat: Di Indonesia, Shalat Jumat Dua Gelombang tidak Tepat

Untuk memberikan kepastian hukum, MUI Pusat pada 3 Juni 2020 mengeluarkan Taujihat tentang Shalat Jumat di era Tatanan Kehidupan Baru (New Normal Life) yang menegaskan kembali fatwa MUI Nomor 5 Tahun 2000 tersebut.

“Kami sami’na wa atho’na dengan Fatwa MUI Pusat. Fatwa MUI DKI bila diperlukan perubahan ya dilakukan perubahan, fleksibel saja. Insyaallah kami mengikuti MUI Pusat,” ungkap Ketua MUI DKI Jakarta KH Munahar Muchtar dalam konferensi pers di Gedung MUI Pusat, Jl Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis 4 Juni 2020.

Namun demikian, Kiai Munahar menegaskan Fatwa Nomor 2/2020 tentang Shalat Jumat Dua Gelombang yang dikeluarkan MUI DKI Jakarta sejatinya tidak bertentangan dengan fatwa MUI Pusat.

“Sebetulnya kita tidak bertentangan. Sebetulnya sama, cuma perkembangan zaman dan dalam bahasa fiqih itu ada pendapat lama (qaul qadim) dan pendapat baru (qaul jadid),” kata Kiai Munahar.

Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU DKI Jakarta itu menjelaskan, shalat Jumat boleh dilaksanakan dua gelombang dengan catatan yakni kondisi yang tidak memungkinkan untuk melaksanakan shalat Jumat dalam satu waktu pada satu tempat karena membludaknya jamaah. Kedua tidak ada lagi tempat dan sarana untuk melaksanakan shalat Jumat, dalam arti lain semua tempat sudah penuh.

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum MUI KH Muhyiddin Junaidi menegaskan, fatwa bolehnya shalat Jumat bergelombang tidak cocok diterapkan di Indonesia. Sebab Indonesia adalah negeri Muslim terbesar dengan fasilitas tempat ibadah yang memadai. Ini berbeda dengan kondisi di luar negeri yang minoritas Muslim.

Karena itu, Kiai Muhyiddin menegaskan, taujihat MUI Pusat tentang Shalat Jumat ini yang dijadikan sebagai rujukan utama sehingga umat Islam tidak mengalami kebingungan dan memiliki satu komando.

red: shodiq ramadhan

Artikel Terkait

Back to top button