Mungkinkah Non Muslim Menjadi Presiden?
Saya kemarin, Jumat (5/3) mendapat kiriman video dari sahabat dekat saya, Aru Syeif Assadullah, tentang wawancara Presiden Jokowi dengan BBC. Reporter BBC itu bertanya (dalam bahasa Inggris), “Mungkinkah non Muslim jadi presiden Indonesia?”
Jawab Jokowi (dalam bahasa Indonesia),” Kenapa tidak, kalau rakyat menghendaki. Ini demokrasi, kalau rakyat menghendaki kenapa tidak? Dicoba saja, rakyat menghendaki atau tidak. Di beberapa daerah, gubernur non Muslim juga ada. Bupati, walikota non Muslim juga ada. Kenapa tidak? Saya juga dulu, wakil wali kota di Solo juga Katolik. Di Jakarta juga sama, wakil gubernur saya juga Kristen. Tidak ada masalah. Buat saya tidak ada masalah.”
Pewawancara perempuan itu melanjutkan,”Dan anda yakin keyakinan umat beragama yang sudah identik dengan Indonesia sejak lama itu akan terus dilindungi di bawah kepemimpinan Anda?”
Jawab Jokowi,”DNA masyarakat Indonesia adalah toleran, moderat. Itu yang saya lihat. Bahwa kadang-kadang di bawah, di bawah di grassroot ada sedikit gesekan saya kira itulah demokrasi. Tetapi kadang-kadang banyak yang menggunakan agama untuk politik. Ini juga yang harus dilihat. Jangan dilihat itu masalah agama saja, bukan. Sering itu digunakan dalam berpolitik. Ini yang harus mulai kita sampaikan, edukasi masyarakat agar tidak (terbujuk) para politikus yang menggunakan agama sebagai permainan politik.”
Sayangnya di video BBC News Indonesia itu tidak dijelaskan kapan wawancara itu berlangsung. Mungkin karena yang saya terima hanya sepotong, 1 menit 51 detik.
Masalah yang dibicarakan Jokowi ini sangat penting bagi umat Islam Indonesia. Mungkinkah non Muslim jadi presiden di Indonesia? Mungkin, kata Jokowi. Wajar Jokowi menjawab seperti ini. Karena pengetahuan Jokowi sangat minim tentang sejarah terbentuknya negara Indonesia ini. Di samping juga karena pemahaman Islam yang minim yang dimiliki presiden kita itu.
Masalah presiden harus Islam di negeri ini, pernah menjadi perdebatan yang seru dalam BPUPK (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan). Pada 11 Juli 1945 BPUPK mengadakan rapat pleno membahas isi Piagam Jakarta yang telah disahkan oleh Tim Sembilan pada 22 Juni 1945. Tim Sembilansaat itu beranggotakan Soekarno, Mohammad Hatta, AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Achmad Soebardjo, Muhammad Yamin, dan Wahid Hasyim.
Pangkal utama perdebatan itu pada tujuh kata rancangan pembukaan UUD 1945: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Anggota BPUPK seperti Latuharhary, Wongsonegoro, dan Hoesein Djajadiningrat mengungkapkan keberatannya. Mereka khawatir klausul itu menimbulkan dampak bagi pemeluk agama lain, bergesekan dengan hukum adat atau memaksa pelaksanaan ajaran Islam untuk pemeluknya.
Menanggapi keberatan itu Wahid Hasyim –putra KH Hasyim Asyari- yang duduk di kursi nomor 50 dengan lantang mengatakan,”Ada yang menganggap kalimat ini tajam, ada juga yang menganggap kurang tajam.”
Untuk menenangkan rapat yang mulai gaduh, Presiden Soekarno mengingatkan kembali bahwa tujuh kata itu merupakan kompromi dua kelompok : Muslim nasionalis dan sekuler nasionalis. “Kalau kalimat ini tidak dimasukkan, tidak bisa diterima oleh kaum Islam,”kata Soekarno. Profesor Soepomo, anggota BPUPK mengomentari perdebatan itu sebagai,”polarisasi yang terbentuk sejak awal Badan Penyelidik bersidang : Indonesia sebagai negara Islam atau bukan.”
Sidang akhirnya menerima naskah itu, yang rencananya diabadikan Pembukaan UUD 1945. Dua hari kemudian BPUPK kembali bersidang. Kali ini membahas isi konstitusi.
Wahid Hasyim kembali mengangkat tangan, mengajukan dua poin untuk mempertegas kedudukan Islam dalam negara melalui pasal soal presiden dan agama resmi negara. Menurut dia, pasal 4 ayat 2 yang mengatur presiden seharusnya berbunyi, “Yang dapat menjadi presiden dan wakil presiden hanya orang Indonesia asli yang beragama Islam.” Ia beragumen, hubungan masyarakat dan pemerintah penting sekali bagi masyarakat muslim. “Jika presiden orang Islam, perintah-perintah berbau Islam, dan akan besar pengaruhnya.”