Muslimah, Wajibkah Bercadar? (Bag-4)
Mengenai hadits-hadits yang dijadikan dalil wajibnya cadar maka sebenarnya hadits-hadits itu tidak menunjukkan pengertian tersebut.
Hadits mengenai mukâtab (budak laki-laki) jika telah memiliki harta yang akan dibayarkan untuk mendapatkan kemerdekaan, Wanita harus berhijab darinya, ketentuan tersebut adalah khusus untuk istriistri Nabi Saw. Hal itu diperkuat oleh hadits yang lain. Dari Abû Qilâbah, ia menuturkan: “Istri-istri Nabi Saw tidak berhijab dari budak mukâtab selama masih tersisa satu dinar (uang tebusan yang belum dibayar)” (HR al-Bayhaqî)
Jadi, tidak ada dalalah di dalam hadits tersebut yang menunjukkan bahwa wanita muslimah harus berhijab (mengenakan cadar).
Adapun hadits Ummu Salamah dan permintaan Nabi Saw kepadanya dan kepada Maimunah agar keduanya mengenakan hijab, adalah khusus untuk istri-istri Rasul Saw. Hadits tersebut dinyatakan mengenai Ummu Salamah dan Maimunah. Teks hadits tersebut selengkapnya adalah:
“Aku pernah duduk di sisi Nabi Saw, Aku dan Maimunah. Lalu Ibn Ummi Maktum datang lalu ia masuk menghadap Beliau. Itu terjadi setelah kami diperintahkan untuk berhijab. Maka Nabi Saw bersabda, “berhijablah kalian berdua darinya.” Lali aku berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya dia buta, tidak bisa melihat kami dan tidak mengetahui kami.” Beliau bersabda, “Apakah kalian berdua juga buta. Bukankah kalian melihatnya?.”(HR Tirmidzî, hadits hasan shahih)
Sedangkan apa yang diriwayatkan dari ‘Aisyah ra, ia berkata: “Para penunggang (unta dan kuda) pernah melewati kami, sementara kami bersama-sama Rasulullah Saw sedang berihram. Maka jika mereka mendekat ke arah kami, salah seorang di antara kami meninggikan jilbabnya lebih dari kepalanya untuk menutupi wajahnya. Dan jika mereka berlalu, kami membukanya kembali.”
Hadits ini bertentangan dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhârî dari Ibn ‘Umar bahwa Nabi Saw pernah bersabda: “Janganlah seorang wanita yang sedang berihram mengenakan cadar dan jangan pula menutup kedua tangannya (mengenakan sarung tangan).”
Ibn Hajar al-‘Ashqqalani mengatakan di dalam Fath al-Bârî: “Cadar adalah kerudung yang dikenakan di atas hidung atau di bawah lekukan mata.” Hadits ‘Aisyah ra menyatakan bahwa wanita yang sedang berihram telah menutupi wajahnya tatkala lewat para pengendara (unta). Sebaliknya hadits Ibn ‘Umar menunjukkan larangan mengenakan cadar, sedangkan cadar itu hanya menutupi wajah bagian bawah.
Lalu bagaimana hal itu bisa sesuai dengan menutupi seluruh wajah menggunakan pakaian dengan cara meninggikannya melebihi wajah. Dengan merujuk kedua hadits tersebut, jelaslah bahwa hadits ‘Aisyah tersebut mengandung illat (penyakit) karena bersumber dari riwayat Mujâhid dari ‘Aisyah. Yahya ibn Sa‘id al-Qaththan, Yahya ibn Ma’in dan Abu Hatim ar-Razi menyebutkan bahwa Mujahid tidak pernah mendengar hadits tersebut dari ‘Aisyah. Meskipun di sana terdapat kemungkinan Mujahid mendengarnya dari ‘Aisyah ra seperti apa yang telah dinukil dari ‘Ali bin al-Madini yang mengatakan: “Aku tidak mengingkari bahwa Mujahid berjumpa dengan sekelompok sahabat. Dia telah mendengar dari ‘Aisyah”. Juga seperti yang dinyatakan secara gamblang bahwa Mujahid mendengar dari ‘Aisyah di dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhârî. Hanya saja, Abû Dâwud setelah meriwayatkan hadits ar-rukbân tersebut, ia tidak mengomentarinya. Sudah diketahui bahwa Abû Dâwud jika diam tidak mengomentari suatu hadits yang ia riwayatkan, ia menilai hadits tersebut selamat boleh dijadikan hujah, kecuali menyalahi hadits yang lebih sahih, maka hadits yang ia riwayatkan tersebut harus ditinggalkan
Sebaliknya, hadits yang dituturkan oleh Ibn ‘Umar adalah hadits sahih yang telah diriwayatkan oleh Imam al-Bukhârî. Hadits ini lebih kuat dari hadits ‘Aisyah dalam kondisi terbaiknya. Karena itu, hadits yang dituturkan oleh ‘Aisyah dengan sendirinya tertolak karena bertentangan dengan hadits sahih, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah.