Muslimah, Wajibkah Bercadar? (Bag-4)
Kedua, riwayat dari ‘Athâ’ ibn Abî Rabbah. Ia menuturkan: “Ibn ‘Abbâs pernah bertanya kepadaku: “Maukah engkau aku tunjukkan seorang wanita yang termasuk ahli surga?” Aku menjawab: “Ya.” Ia berkata: Wanita ahli surga itu adalah seorang wanita berkulit hitam. Ia pernah datang kepada Nabi Saw, lalu ia berkata: “Wahai Rasulullah Saw, aku ini menderita penyakit ayan sehingga auratku sering tersingkap. Karena itu, aku mohon engkau berdoa kepada Allah SWT untukku.” Rasulullah Saw menjawab: “Jika engkau mau, engkau berlaku sabar, dan bagimu balasan surga. Sebaliknya jika engkau menginginkan, aku bisa berdoa kepada Allah SWT supaya menyembuhkanmu.” Wanita itu berkata: “Kalau begitu, aku akan bersabar. Akan tetapi, auratku sering tersingkap. Karena itu, berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Setelah itu, Nabi Saw berdoa untuknya. (HR Thabrânî di dalam Mu’jam al-Kabîr)
Ketiga, di antara hadits yang menunjukkan bahwa tangan bukan merupakan aurat adalah jabatan tangan yang dilakukan oleh Rasul kepada para wanita ketika mereka membaiat Beliau. Dari Ummu ‘Athiyah ra, ia menuturkan: “Kami membaiat Nabi Saw, lalu Beliau membacakan kepada kami “bahwa mereka tidak akan menyekutukan sesuatupun dengan Allah.” (TQS. Mumtahanah [60]: 12), dan beliau melarang kami untuk meratap. Maka seorang wanita di antara kami menarik kembali tangannya, lalu ia berkata, “Seorang wanita telah membahagiakan diriku dan aku ingin sekali membalasnya.” Beliau tidak mengomentarinya sedikit pun. Selanjutnya wanita itu pergi, lalu kembali lagi.” (HR al-Bukhârî).
Hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa para Wanita Muslimah waktu itu berbaiat menggunakan tangan mereka. Sebab, salah seorang dari mereka menarik tangannya yang sebelumnya dia ulurkan untuk berbaiat. Kenyataan hadits ini menyatakan bahwa Wanita tersebut menarik tangannya tatkala mendengar lafazh baiat. Hal itu gamblang menjelaskan bahwa baiat itu dilakukan dengan tangan dan bahwa Rasul Saw menerima baiat para wanita itu dengan tangan Beliau yang mulia.
Adapun hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah bahwa ia berkata: “Tangan Rasulullah tidak pernah menyentuh tangan seorang wanita pun, kecuali wanita yang dimilikinya.” (Muttafaq ’alayhi)
Pernyataan tersebut merupakan pendapat ‘Aisyah ra sebatas apa yang diketahuinya. Jika pernyataan ‘Aisyah tersebut dibandingkan dengan hadits yang dituturkan oleh Ummu ‘Athiyah, maka hadits yang dituturkan Ummu ‘Athiyah lebih kuat (rajih), karena hadits tersebut menyatakan aktivitas yang terjadi di hadapan Rasul Saw sekaligus menunjukkan perbuatan Rasul Saw sendiri. Maka hadits Ummu ’Athiyah tersebut jelas lebih kuat dibandingkan dengan pendapat ‘Aisyah saja.
Ketiga peristiwa di atas yang telah termaktub di dalam hadits menunjukkan dengan penunjukkan yang jelas bahwa yang biasa tampak dari kaum wanita waktu itu adalah wajah dan kedua telapak tangan mereka. Yakni bahwa yang dikecualikan di dalam ayat “illâ mâ zhahara minhâ (kecuali yang biasa tampak daripadanya)” adalah wajah dan kedua telapak tangan. Ini menunjukkan bahwa keduanya (wajah dan kedua telapak tangan) bukan merupakan aurat, baik di dalam maupun di luar shalat. Sebab ayat tersebut bersifat umum: “Janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya.” (TQS an-Nûr [24]: 31)
Sementara ayat sesudahnya, mafhumnya menunjukkan bahwa wajah dan kedua telapak tangan wanita bukan merupakan aurat. Allah SWT berfirman: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya.” (TQS an-Nûr [24]: 31)
Kata khumûr (kerudung) adalah bentuk jamak dari kata khimâr, yaitu kain untuk menutupi kepala. Sedangkan kata juyûb adalah jamak dari jayb yaitu tempat potongan (bukaan) jubah atau gamis. Maka Allah SWT memerintahkan agar kerudung dijulurkan ke atas leher dan dada.