Nahdliyin Bersatu Menangkan Pilpres, Mungkinkah?
Jangankan urusan Pilpres, urusan yang lebih besar dari itu pun insyaallah akan dimenangkan oleh warga Nahdlatul Ulama (Nadliyin) bila mereka kompak dan bersatu.
Sengaja kita tidak bicara tentang umat Islam. Sebab kalau umat Islam itu ya semuanya, bukan hanya Nahdliyin. Jumlahnya mayoritas di negeri ini, urusannya lebih kompleks.
Kalau disebut umat Islam, baik Anies, Prabowo, Ganjar, Gus Imin, adalah bagian dari umat Islam. Tapi kalau disebut Nahdliyin, semua orang tahu, Gus Imin -untuk sementara ini- adalah bakal Cawapres yang secara ‘biologis’ dan ideologis asli NU. 24 karat.
Karena itu, kalau Nahdliyin bersatu memenagkan kader asli mereka, hitung-hitungan di atas kertas, ya besar kemungkinan menang. Itu kalau kader NU yang maju Pilpres cuma satu, kalau lebih dari satu, lain lagi ceritanya.
Hanya saja, yang membuat kita trenyuh, belum juga ada pendaftaran pasangan, di tubuh Nahdliyin sudah nampak ketidakbersatuan. Itu terjadi setelah ada deklarasi pasangan AMIN, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.
Ketum PBNU Gus Yahya bilang, “tidak ada paslon atas nama NU”, “klaim didukung kiai PBNU tidak benar”, dan lainnya. Lalu, adiknya Gus Yahya yang juga Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, dalam acara Kemenag malah lantang mengaku tak memilih AMIN. Di mimbar Keemenag, yang mikrofonnya dibayar pajak rakyat melalui APBN itu, Yaqut mengatakan “Amin bid’ah”.
Konon ngakunya bercanda. Tapi candanya tidak lucu. Tak pantas. Memuakkan. Semua orang paham, amin, dalam konteks politik saat ini, bukanlah “Amin” nama orang sebagaimana dia maksud. Buka pula “Aamiin” yang diucapkan orang-orang saat mengaminkan doa atau dalam shalat usai imam melantukan “..waladholliin…” tapi AMIN saat ini ya Anies-Muhaimin.
Yaqut ini namanya masih ada di dalam struktur kepengurusan DPP PKB Masa Bhakti 2019-2024 yang di-SK-kan oleh Menkumham. Yaqut tertulis menjabat sebagai Ketua Bidang Pertahanan dan Keamanan. Kita belum tahu perkembangan terbaru dari internal PKB apakah ada pencoretan nama dia dari kepengurusan atau tidak. Jadi kita tidak tahu persis hal apa yang menyebabkan Yaqut beroposisi dengan Cak Imin.
Menggunakan istilah “bid’ah” untuk menstigma pasangan AMIN, jelas perkara serius. Ini bukan sindiran atau satire belaka. Jamak diketahui, istilah “bid’ah” sering digunakan oleh kelompok Wahabi. Nah, karena salah satu partai pengusung AMIN adalah PKS, disitulah letak keseriusannya. Yaqut seolah tutup mata dan telinga, tidak tahu dan tidak mau tahu, bila PKS bukanlah Wahabi. Tapi apa mau dikata, orang seperti ini prinsipnya “pokok’e”, tanpa melihat ada perubahan di kelompok lain.
Sebab dari semua ini, sejatinya adalah adanya perbedaan kepentingan politik. Perbedaan inilah yang menurut Prof. Dr. Muhammad Abu Zahrah dalam mukadimah bukunya “Tarikh al Mazhahib al Islamiyyah”, disebutnya sebagai perbedaan yang menghilangkan persatuan.
Dalam konteks Pileg dan Pilpres misalnya, di tubuh Nahdliyin dan para elitenya dengan mudah dapat dibaca adanya kelompok-kelompok.
Ada kelompok yang luarnya hijau dalamnya pun hijau. Ini adalah Nahdliyin yang berpartai di partai Islam atau partai berbasis massa Islam. Tapi ada pula kelompok “Semangka”, luarnya hijau tetapi dalamnya merah.