Narasi Terorisme Membidik Perempuan
Keterlibatan generasi milenial dalam dua aksi teror baru-baru ini menyentak publik. Sebagaimana diketahui publik, pelaku aksi teror di Makassar dan di Mabes Polri adalah generasi muda yang lahir pada era tahun 1990-an. Generasi yang tren disebut generasi milenial.
Yang menjadi sorotan, di antara pelaku teror tersebut adalah perempuan milenial. Dikutip antaranews.com, 31/3/2021, salah satu pelaku bom di Makassar adalah perempuan berinisial YSF atau D, sedangkan pelaku aksi teror di Mabes Polri adalah perempuan berinisial ZA. Tak ayal, beragam komentar pun muncul dari berbagai pihak menanggapi fenomena ini.
Beragam analisis pun berkembang terkait fenomena perempuan “Millennial Bomber” ini. Tidak sedikit pakar yang mengaitkan fenomena ini dengan ISIS dan masifnya propaganda media sosial yang membuat perempuan rentan terpapar pemahaman ekstremis dan radikal. (kompas.com, 3/1/2021).
Jelas, aksi terorisme yang menjerat perempuan mengundang keprihatinan bersama. Namun, jika kita menilik lebih dalam, aksi terorisme ini patut diduga sebagai bentuk rekayasa untuk memojokkan Islam dan mengokohkan islamofobia di tengah umat. Keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme juga seolah makin menguatkan kriminalisasi terhadap Islam dan umatnya. Aksi ini pun dapat menimbulkan teror yang lebih kuat di tengah umat, sebab dilakukan oleh perempuan yang dikenal sebagai pihak yang lemah.
Alhasil, dampak yang diciptakannya pun lebih dahsyat, yakni munculnya framing “teroris” terhadap seluruh kaum muslimin, baik laki-laki maupun perempuan. Inilah sejatinya yang diharapkan oleh musuh-musuh Islam yang berada di balik layar skenario aksi terorisme.
Berbagai aksi bom bunuh diri, kekerasan, dan teror di tengah umat, jelas bukan berasal dari ajaran Islam, serta wajib ditolak dan ditinggalkan. Apalagi jika muncul anggapan bahwa berbagai aksi radikalisme dan terorisme ini dipicu oleh jihad sebagai salah satu ajaran Islam yang mulia. Sebab mengaitkan berbagai aksi teror ini dengan jihad, jelas tidak relevan.
Jihad memiliki posisi yang tinggi dan mulia dalam ajaran Islam. Al Kasani dalam kitab Bada’i as-Shana’i menyebut, jihad secara syarak berarti pengerahan seluruh kemampuan dan tenaga dalam berperang di jalan Allah SWT, baik dengan jiwa, harta, lisan, ataupun yang lainnya.
Tegaknya jihad di tengah kaum muslimin ditujukan untuk menjaga kehormatan, kemuliaan, dan wilayah kaum muslimin; serta untuk menghilangkan berbagai rintangan dalam menyebarkan dan menegakkan aturan Islam secara kafah ke seluruh penjuru dunia.
Kondisi kaum muslimin tentu berbeda hari ini, sebab jihad dalam rangka meninggikan kalimat Allah SWT. hanya dapat dilakukan ketika kaum muslimin memiliki seorang imam/khalifah yang menerapkan hukum Islam. Sementara jihad yang dapat dilakukan hari ini adalah jihad defensif, yakni mempertahankan diri, sebagaimana jihad yang dilakukan kaum muslimin di bumi Palestina untuk melawan penjajahan Zionis Israel.
Oleh karena itu, berbagai aksi pengeboman, penembakan, dan teror yang terjadi di tengah-tengah warga dan bukan dalam kondisi berperang; serta aksi bom bunuh diri; semua itu hukumnya adalah haram.
Aksi teror yang melibatkan perempuan, tak ayal juga menjadi momentum tepat untuk menguatkan berbagai agenda kontraradikalisme, khususnya di kalangan perempuan. Angin kencang deradikalisasi dan moderasi Islam pun kian kencang berembus. Bahkan jauh hari berbagi agenda moderasi Islam ini tidak hentinya digaungkan.